Jumat, 28 November 2014

Bebas Keterkondisian

Marilah kita melihat keterkondisian kita. Ada keterkondisian tubuh, ada keterkondisian batin. Tubuh kita terkondisi oleh berbagai hal dan terbiasa bereaksi menurut keterkondisiannya. Misalnya, orang tidak begitu saja mudah mengubah pola makan dari nasi ke umbi-umbian, kalau bertahun-tahun tubuh sudah terbiasa mengonsumsi bulir-bulir nasi. 

Anda bisa mengamati bagaimana tubuh Anda memiliki mekanisme perlindungan diri, ketika menghadapi cuaca panas atau dingin, menghadapi sesuatu yang mengancam, dan seterusnya. Keterkondisian fisiologis pada tingkatan tertentu kita butuhkan dan itu wajar, agar tubuh bisa bekerja secara efektif dan efisien.

Sementara itu, batin kita terkondisi oleh berbagai ingatan psikologis dalam bentuk pengalaman, pengetahuan, tradisi, ajaran, agama, ketakutan, harapan, ingatan akan kenikmatan dan kesakitan, rasa suka dan tidak suka, dan seterusnya.

Kita terkondisi sebagai istri atau suami, buruh atau majikan, orang Jawa, China, Batak, Flores, Ambon, atau suku tertentu, sebagai orang Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, sebagai teis atau ateis, dan seterusnya.

Berbeda dengan tubuh, batin yang terkondisi justru menjadi kerdil, dungu, tidak inteligen, dan tidak ada Cinta. Lihatlah batin Anda sendiri. Selama batin Anda terkondisi, respons total terhadap tantangan tidak mungkin terjadi. 

Kita hidup, bertindak, dan berfungsi menurut keterkondisian batin kita masing-masing. Kita menyukai atau tidak menyukai sesuatu, mencintai atau tidak mencintai sesuatu menurut keterkondisian kita. Kita bereaksi dan bertindak menurut beban pengaruh masa lampau.

Bisakah kita bebas sepenuhnya dari keterkondisian? Janganlah cepat-cepat menjawab, tetapi marilah kita menyelami fakta keterkondisian itu sendiri. Dengan memahaminya, ada kemungkinan kita keluar secara alamiah dari penjara keterkondisian. 

Inti dari keterkondisian tak lain adalah ego atau "si aku." Kalau "si aku" berakhir, sekalipun hanya beberapa saat, maka kita bebas dari keterkondisian, bebas sepenuhnya dari masa lampau. 

Bisakah kita mengamati langsung keterkondisian dan reaksi-reaksi yang muncul dari keterkondisian, tanpa "si aku" sebagai pengamat? Melihat secara langsung merupakan tindakan seketika dan melihat dengan cara demikian membebaskan kita dari beban pengaruh masa lampau.

0 komentar:

Posting Komentar