Jumat, 12 Desember 2014

Seni Tenun Silungkang dan Sekitarnya

silungkang.jpeg
SONGKET BUKAN SEKEDAR KAIN, MELAINKAN JUGA BENTUK SENI LUKIS 
Silungkang adalah suatu desa di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat. Desa kecil yang luasnya 4800 hektar ini sudah lama dikenal sebagai desa penghasil kain tenun songket. Sekalipun kerajinan tenun Silungkang hanyalah merupakan kerajinan keluarga yang dikerjakan dengan alat-alat yang sederhana, namun hasilnya sangat mengagumkan. Banyak wisatawan yang khusus datang ke desa ini untuk menyaksikan dan membeli hasil kerajinan tenun Silungkang.
Sejarah kain Songket Silungkang bermula dari abad 19, ketika para pedagang sari Silungkang membawa hasil-hasil pertaniannya ke daerah Pahang, Malaysia. Sewaktu pulang kembali ke Silungkang mereka membawa tenunan-tenunan yang indah berupa kain songket Malaysia. Terdorong untuk mencari keuntungan yang lebih besar, lama kelamaan para pedagang Silungkang itu tertarik untuk mengerjakan sendiri kain songket tersebut. Lalu mereka mempelajari proses pembuatan songket tersebut, mulai dari alat tenun, benang, konstruksi tenunan sampai proses pewarnaan dan lain-lain. Bahkan tidak hanya daerah Silungkang saja akhirnya yang ingin mempelajari teknik menenun ini.
Daerah-daerah lain pun kemudian mengikuti jejak masyarakat Silungkang. Akhirnya daerah Pandai Sikek dan Kubang mulai pula mengembangkan kerajinan tenun songket. Sangat mengembirakan bahwa kegiatan bertenun tradisional yang masih hidup di Silungkang dan Pandai Sikat dan Kubang ini merupakan museum hidup bagi kebudayaan tenun. Keadaan yang demikian pantas dilestarikan karena lajunya perkembangan teknologi yang memungkinkan teknik bertenun bereka berubah pula dengan cepat, sehingga kita kehilangan salah satu teknik tenun tradisional yang membanggakan.

Teknik Tenun Songket dan Ragam Hiasnya
Cara menenun kain songket pada dasarnya terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Tahap kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Cara menenun seperti ini di barat disebut 'inlay weaving system'. Benang tambahan terdiri dari dua macam, yaitu ke arah pakan atau ke arah lungsi. Benang yang ditambahkan itu pada dasarnya berbeda warna berbeda ukuran benangnya dan berbeda bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias tersebut terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda dengan tenun latarnya.
Di Silungkang dan Pandai Sikek, tenunan latar biasanya berwarna merah tua, hijau tua, atau biru tua. Benang yang dipergunakan kebanyakan dari bahan serat kapas atau benang sutra. Tenunan dasar yang merupakan konstruksi anyaman polos atau datar diperoleh dengan cara mengangkat dan menurunkan benang bergantian dengan irama pergantian 1-2 atau 1-3 dan 2-4.
Sebelum dicelup dengan bahan pewarna kimia, bahan benang putihan itu harus dibersihkan dulu dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna pada waktu proses pencelupan. Ini membuktikan bahwa pengrajin tenun Silungkang telah mengenal cara-cara modern dalam proses pemutihan bahan barang tenun. Untuk zat pemutih kebanyakan digunakan soda abu yang mudah didapatkan di toko-toko kimia atau apotik. Apabila proses pemutihan telah selesai, maka benang itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan.
Untuk benang lungsi pakan, pada umumnya digunakan warna merah tua atau merah vermillion yang menyala. Sedangkan untuk benang pakan dipergunakan warna-warna itu dimaksudkan sebagai pembentuk ragam hias atau motif. Di Silungkang, motif ragam hias selain dibentuk dengan benang emas, juga dengan benang berwarna lainnya. Oleh sebab itu terdapat dua macam kain songket yaitu:
  • kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang emas sebagai pakan tambahan
  • kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang yang berlainan warnanya dengan warna dasar atau latar tenun
Kain songket jenis yang kedua, yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas. Pemakaiannya tidak hanya untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak meja dan hiasan dinding. Sedangkan kain songket yang motifnya dibuat dengan benang emas pemasarannya relatif terbatas karena harganya mahal dan juga sering hanya digunakan untuk pakaian/busana tradisional.

Ragam Hias Tenun Songket.
Ragam hias tenun diciptakan dengan teknik menenun, dikenal dengan teknik pakan tambahan atau supplementary weft. Cara mengangkat mulut lungsi diatur oleh lidi-lidi, makin banyak jumlah lidi makin rumit dan kaya ragam hias tenun songketnya. Ketrampilan para penenun songket Silungkarig dan Pandai Sikek ini sangat mengagumkan karena mampu membuat/menghasilkan tenunan hampir tanpa kesalahan. Tentang rekan ragam hias kain songket biasanya ditentukan oleh atau selendang, apakah menghendaki ragam hias yang rumit atau sederhana.
Kekayaan alam Minangkabau dan seni budayanya sangat mempengaruhi terciptanya berbagai ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang teramat sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi Songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk senirupa, diproses dengan kecintaan dan diangkat dari fantasi penciptaan yang ramah terhadap lingkungan alamnya.
Motif-motif ragam hias biasanya juga dikembalikan kepada nama-nama dan sifat-sifat dari alam, apakah itu nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda. Hal ini kemungkinan selalu dikaitkan dengan adanya pepatah di Minangkabau yang mengatakan "alam takambang jadi guru" (alam yang maha luas ini dapat dijadikan guru atau contoh).
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigobaleh, Kain Balapak Gadang dan lain-lain.
Nama-nama motif ragam hias dari Padang Panjang antara lain adalah Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, Sisiak dan lain-lain.
Sedangkan nama motif dari Pandai Sikek antara lain adalah Balah Kacang Gadang, Ragi Baserak, Kunang kunang, Pucuak Merah, Pucuak Rabuang Putiah dan lain-lain.
Untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain.
Melihat bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi. Komposisi dari ragam hias yang bermacam-macam ditentukan oleh pengrajin penggubah yang sudah ahli, baik letak maupun besar kecilnya. Bagian mana yang akan diletakkan untuk bagian kepala kain, badan kain, maupun hiasan tepi kain. Demikian juga perimbangan antara motif kain dengan selendang, motifnya sudah diatur seharmonis mungkin, sehingga bila dikenakan akan membentuk kesan yang indah ditubuh pemakainya.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut memiliki pula arti perlambang dari motif yang digunakan. Perlambangan tidak hanya terlihat pada motif, tetapi menyangkut pula kata-kata adat yang terkait dengan nama motif. Latar belakang adat yang kuat dengan sangat pasti telah melandasi kelahiran setiap ungkapan kata-kata adat yang dijadikan motif.
Salah satu bentuk ragam hias yang terkenal adalah "pucuak rabuang".
Rebung ini dikiaskan sebagai benda/tumbuhan yang sejak kecil sudah berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebung masih kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran, namun bila rebung telah tumbuh besar menjadi bambu, maka ia dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan lainnya. Maka siapa yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakat. Itulah salah satu ungkapan adat yang dijadikan motif ragam hias.

0 komentar:

Posting Komentar