BLANGKON TUTUP KEPALA TRADISIONAL JAWA DAN SUNDA.
Mengunjungi keramaian tradisional di
Solo Yogya, Cirebon dan sekitarnya merasa bangga kalau pulangnya membawa
oleh-oleh, salah satunya blangkon atau udeng (Jawa) atai bendo
(priangan). Blangkon juga kerap dipake oleh bapak-bapak atau, remaja
atau anak laki-laki. Mereka dapat membelinya di toko, di kaki lima
bahkan dari pedagang asongan. Blangkon adalah tutup kepala tradisional
(pria) Jawa dan Sunda terbuat dari kain dengan ukuran, motif, warna,
gaya dan variasi tertentu sesuai dengan daerah, kelompok, status,
selera, dan lain-lain.
Blangkon ini biasanya sudah dibentuk
sedemikian rupa dan siap untuk dipakai. Bahan baku pembuatan blangkon
adalah kain polos atau batik. Kain itu sendiri dapat digunakan sebagai
ikat kepala dan disebut iket atau destar.
Mengingat bahwa mengenakan iket itu
tidak mudah dan memakan waktu, maka timbulah gagasan, kemudian teknologi
seni membuat blangkon. Jadi dari iket berkembang menjadi blangkon,
namun tidak berarti setelah ada blangkon, iket lenyap. Di beberapa
daerah tradisi mengenakan iket masih tetap ada. Ukuran kain iket
biasanya disebut sekacu (kacu = sapu tangan) yakni 105 cm2. Di beberapa
daerah (terutama Pasisiran/daerah pantai) ukurannya lebih kecil yakni 95
m2. Sebagai bahan blankon hanya digunakan ½ kacu dalam bentuk segitiga
sama kaki baik polos maupun batik. Urutan pekerjaan:
1. Menyiapkan bahan dan alat. Bahan baku
berupa kain polos atau batik dnegan motif tertentu yang siap dikerjakan
satu atau setengah kacu berikut kelengkapan dan peralatannya berupa
kelebeut, (landasan/cetakan kayu berbentuk kepala) papan, gunting,
jepitan, pumukul, jarum, dan lain-lain.
2. Mewiru Kain dilipat-lipat bolak-balik
dengan ukuran sama setelah dibasahi. Mewiru dilakukan dua kali. Pertama
dalam keadaan lembab dan belum diletakan pada congkeng. Kedua setelah
kering dan sesudah di congkeng, pengerjaannya lebih teliti dengan alat
capi dan solet kemudian dijahit.
3. Membuat congkeng. Membentuk blangkon
dengan memebri lapisan dalam bagian iket berupa karton, kain keras atau
kertas yang dilem dan kain hitam.
4. Mencetak atau mblangkon Proses
mblangkon ini merupakan kelanjutan dari mewiru yang telah dilanjutkan
dengan menyongkeng. Pekerjaan dilakukan di atas klebut. Kegiatannya
antara lain merapikan wiron, menjahit bagian-bagian ujung, membentuk dan
merapikan mendolan, dan lain-lain. Tahap ini menentukan bentuk jadi
secara keseluruhan. Ukuran klebut bervariasi menurut besar kecilnya
kepala calon pemakai; satuan ukurannya berkisar antara 48-56.
5. Finishing Setelah secara teknis
seluruh pekerjaan selesai tinggallah merapikan dan membersihkan dengan
memukul-mukul bagian yang belum lengket benar, menggunting benang-benang
lebih, dan membersihkannya dari lem atau kotoran lain, disikat kemudian
ditaruh pada klebut khusus yang terbuat dari karton. Sebaiknya blangkon
disimpan berikut klebut agar tidak mengempis. Jenis-jenis Blangkon Pada
dasarnya blangkon itu sama saja baik fungsi, bahan maupun cara
pembuatannya. Sedangkan variasi dalam bentuk, gaya, motif warna dan
sebagainya berkembang pada berbagai kelompok masyarakat pemakainya
sehingga dapat dibedakan beberapa jenisnya, seperti: Kejawen, Pasundan,
Pesisiran, dan lain-lain.
Gaya Blangkon
1.Kejawen (meliputi daerah Banyumas,
Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Malang), dapat dibedakan
lagi sekurang-kurangnya dua gaya, yakni Sala dan Yogyakarta.
a. Gaya Sala dalat dibedakan lagi; gaya
utama dan selatan. Berdasarkan bentuk wiron, jabehan, cepet, waton, dan
kuncungannya, dapat dibedakan lagi sehingga terdapat nama-nama:
adumancung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda,
pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain-lain.
b. Gaya Yogya, walaupun termasuk
mempunyai corak tersendiri yang berbeda dengan sala. Dapat dibedakan
jenis menurut wironnya, yakni mataraman dan iket krepyak.
2. Pasundan. Pasundan tidaks elalu
diartikan secara geografis, misalnya Banten dan Cirebon masuk kelompok
pesisiran (meskipun Banten sekarang sudah menjadi Provinsi tersendiri
tidak lagi masuk dalam daerah Provinsi Jawa Barat). Blangkon atau bendo
Pasundan banyak persamaannya dengan gaya Sala, namun dapat dibedakan
beberapa bentuk seperti: barangbangsemplak, Sumedangan, Wirahnasari dan
lain-lain.
3. Pesisiran. Yang dimaksud adalah
daerah-daerah yang berlokasi di pantai utara Pulau Jawa corak budayanya
berbeda dengan daerah pedalaman, namun dalam hal blangkon sebenarnya
tidak banyak perbedaan dengan corak Salad an Yogya, kecuali yang Nampak
dalam penerapan motif-motif batik yang tak ditemukan di Salad an Yogya.
4. Lain-lain Di samping yang tidak disebutkan diatas masih terdapat
corak atau gaya lain di Pulau Jawa seperti layaran (Jawa Timur, dari
Bangkalan), tengkulak (Banten, Cirebon, Demak) dipakai oleh santri dan
lain-lain. Ragam Hias dan Warna Blangkon Pada dasarnya ragam hias
blangkon (batik) ada tiga pola, yakni:
a. Beragam hias penuh
b. Beragam hias pinggirannya saja
c. Ragam hiasnya membagi bidang. Yang
dengan rama hias penuh antara lain bernama blumbangan, polos dengan
warna biru tua, hijau atau putih; byur, penuh motif hias, tanpa
blumbangan; tengahan, bagian tengah yang paling menonjol dengan motif
daun-daunna, warna hijau atau biru tua. Berdasarkan atas ragam hias
pinggirannya, beberapa blangkon bernama: celengkewangan (berhias motif
komende atau umpak pada pinggirannya); cemungkiran (pinggirannya berhias
motif dedaunan). Di Sala di sebut semukirang, di Jawa Timur rejeng, di
Mangkunegara kerisan atau kemitiran, di Yogya cemengkiran; modang
(berhias motif lidah api yang bernilai simbolis). Jenis-jenis ragam hias
lainnya: titik, huruf Arab, ceplokan, lereng dan masih banyak lagi.
Seperti seni batik pada umumnya, pada blangkon pun di Jawa dikenal
banyak warna dengan istilah Jawa yang berasosiasikan dengan keadaan alam
seperti:
c1. Gula-klapa, merah-putih
c2. Kepodang nycep sari, merah-kuning.
c3. Parianon, putih-kuning.
c4. Pandhan binethot, hijau-kuning,
c5. Alas kobong, merah-hitam
c6. Bangi tulak, putih di atas hitam
atau biru tua, dan lain-lain. Warna yang dominan pada msyarakat jawa
adalah merah, biru, hitam, kuning, putih. Dahulu warna-warna didapat
dari: kulit kayu, daun, buah, akar dan lain-lain. Fungsi Blangkon dan
Upaya Pelestariannya. Sebagai tutup kepala, blangkon adalah perlindung
bagian yang terpenting dan terhormat dari tubuh manusia, yaitu kepala.
Bagi masyarakat pemakainya blangkon juga mempunyai nilai lain seperti
kelengkapan pakaian tradisional.
Nilai seni, sopan santun, simbolis serta
identitas kelompok atau status sosial. Nilai yang terakhir kerap
menjadi daya tarik sosial-ekonomi, dan wisata-budaya. Dahulu (dan
sekarang dalam kesempatan tertentu) blangkon memang mempunyai nilai
khusus bagi masyarakat dan terdapat kecenderungan makin banyak digemari.
Oleh sebab itu salah satu warisan budaya yang khas dan langka ini perlu
dilestarikan. Tentu saja ini menyangkut masalah tenaga
seniman/pengrajin, bahan, permodalan, serta tidak lepas dari masalah
pembinaan mutu dan kesadaran masayarakatnya untuk tetap menjadikan
blangkon sebagai bagian dari kehidupan meraka.
0 komentar:
Posting Komentar