SISTEM KEKERABATAN SUKU TENGGER
Tengger
adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo
Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang
beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang
dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai
masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak
maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang)
yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk
kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
Masyarakat
Tengger mempunyai hubungan yang khas dalam hubungan kekerabatan. Garis
keturunan masyarakat Tengger adalah berdasarkan pada prinsip bilateral
yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Ada tiga macam kelompok
kekerabatan dalam masyarakat Tengger. Kelompok kekerabatan terkecil
yaitu keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang
disebut sa’omah. Kelompok kekerabatan yang kedua yaitu sa’dulur. Fsm
kelompok kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar adalah yang dinamakan
wong Tengger.
Masyarakat
Tengger yang hidup sa’omah terdiri dari pasangan suami isteri dengan
anak-anak dan juga ditambah beberapa anggota kelompok terdekat seperti
kakek atau nenek dan beberapa anak angkatnya. Keluarga ini bernaung
dibawah satu atap dengan kepala keluarga yang memikul tanggung jawab
kehidupan keluarga tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa suami isteri
saja yang bekerja untuk mencari nafkah.
Kedua
kelompok kekerabatan sa’dulur. Kelompok kekerabatan ini merupakan
kelompok kekerabatan kedua yang dikenal oleh masyarakat Tengger. Hal ini
berarti selain mengenal ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, juga
mengenal kerabat-kerabat lainnya seperti saudara-saudara sepupu dari
pihak ayah atau ibu, kerabat dari angkatan satu tingkat ke atas dari
orang tua, saudara sepupu derajat kedua dari pihak ayah atau ibu,
saudara-saudara orang tua dari pihak ayah atau ibu, kerabat dari satu
tingkat ke bawah dan seterusnya yang biasanya kerabat-kerabat tersebut
berkumpul dalam suatu aktifitas tertentu sekitar rumah tangga.
Kelompok
kekerabatan yang ketiga dan yang terbesar ialah yang disebut dengan
wong Tengger yang dapat disamakan dengan kelompok kekerabatan disebut
sebagai kelompok besar yang berarti memiliki fungsi menyelenggarakan
kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok sebagai satu kesatuan. Seperti
yang diyakini oleh semua masyarakat Tengger bahwa upacara-upacara adat
seperti upacara Kasada dan upacara Karo merupakan suatu bentuk yang
dilakukan oleh seluruh orang Tengger.
Dalam
urusan perkawinan, adat perkawinan pada masyarakat Tengger hampir sama
dengan adat pernikahan masyarakat Jawa, yang membedakan diantara kedua
perkawinan itu adalah dalam perkawinan masyarakat Tengger yang bertindak
sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Setelah
menikah ada tradisi Adat menetap atau neolokal yaitu pasangan
suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk permulaan
pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri.
Selain itu, dalam tradisi masyarakat Tengger poligami dan perceraian
tidak pernah terjadi. Perkawinan dibawah umur juga jarang terjadi.
Dalam
proses pertunangan (pacangan) dalam tradisi masyarakat Tengger ada
beberapa ritual yang harus dilakukan yaitu pertama, pertemuan antara
kedua calon atas dasar saling senang dan menyukai diantara kedua pihak.
Kedua, lamaran yang dilakukan oleh orangtua pria. Setelah itu, apabila
kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai
calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya
atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui,
diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan
ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh
kedua belah pihak. Sesudah itu, upacara perkawinan dilakukan.
Adapun
saat akan melangsukan perkawinan para orangtua kedua calon akan meminta
nasehat kepada dukun mengenai kapan hari baik melangsungkan perkawinan.
Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat,
papan tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Sesudah semua
selesai maka akan ada selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan
bubur putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan
pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan
empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin
wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan
tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah
berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada
upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang
utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam
perkawinan dengan disaksikan oleh seorang dukun. Pada upacara pernikahan
dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya
roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan pengantin pria harus tinggal dirumah (mengikuti) pengantin wanita.
Biasanya setelah melakukan perkawinan pengantin pria harus tinggal dirumah (mengikuti) pengantin wanita.
Dalam
urusan hak waris, masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah
untuk anak keturunan mereka. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual
hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat.
Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang
tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan. Selain itu,
pembagian merata antara perolehan hak waris laki-laki dan perempuan
sama. Apabila kedua orang tua tidak sanggup lagi mengerjakan ladangnya,
maka kedua orang tua tersebut akan ikut salah satu anaknya dan setelah
meninggal hak warisnya jatuh pada anak yang merawat orang tua tersebut.
Biasanya pembagian warisan diberikan sebelum kedua orang tua meninggal
dan tidak jarang pula orang tua memberikan hak waris kepada anaknya
apabila anak tersebut dianggap mampu mengerjakan sendiri ladangnya.
0 komentar:
Posting Komentar