PENINGGALAN KERAJAAN NAGARADHIPA (NAGARA DIPA) DI KALIMANTAN SELATAN
Candi Agung Amuntai merupakan sebuah situs candi Hindu peninggalan Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa). Candi Agung Amuntai terdapat di Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Candi Agung Amuntai merupakan sebuah situs candi Hindu peninggalan Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa). Candi Agung Amuntai terdapat di Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Candi Agung Amuntai dibangun oleh Ampu Jatmaka (Ampu Jatmika) abad ke-14. Menurut Hikayat Banjar, Ampu Jatmika berasal dari Keling. Ia tiba di tanah Banjar bersama armada Prabayaksa, sekitar tahun 1355
. Veerbek berpendapat bahwa Keling, yang termasuk kerajaan vasal dari
Majapahit, terletak di barat daya Kediri, bukan Kalingga di India. Paul
Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan
Senanjung Malaysia (401 dan 435), menulis bahwa Ampu Jatmika mendirikan
Nagaradhipa pada 1387 dan berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmaka
menjabat sebagai mantri sakai di Nagaradhipa, bukan sebagai raja
Nagaradhipa. Hal ini terjadi, seperti telah disinggung di atas, karena
Ampu Jatmika bukan keturunan bangsawan dan bukan pula keturunan raja
Kuripan (kerajaan sebelum era Nagaradhipa). Dengan begitu, Ampu Jatmaka
diperkirakan hanya sebagai Penjabat Raja atau Pemangku Kerajaan.
Menurut cerita, Kerajaan Hindu
Nagaradhipa berdiri pada 1438 di persimpangan tiga aliran sungai:
Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar ini
diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala
pemerintahan Mangkubumi (Patih) Lambung Mangkurat. Negaradhipa kemudian
berkembang menjadi Kota Amuntai.
Candi Agung diperkirakan telah berusia
740 tahun. Bahan material Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu.
Kondisinya masih sangat kokoh. Di candi ini juga ditemukan beberapa
benda peninggalan sejarah yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun SM.
Batu yang digunakan untuk mendirikan candi ini pun masih terdapat di
sana. Batunya sekilas mirip sekali dengan batu bata merah. Namun bila
disentuh terdapat perbedaannya, lebih berat dan lebih kuat dari bata
merah biasa.
Banyak pengunjung yang datang ke Candi
Agung Amuntai untuk sekadar berekreasi. Banyak pula yang bertujuan
ziarah. Maklum di areal candi ini terdapat makam kuno. Kalau Anda ke
Kota Amuntai, luangkan waktu untuk melihat candi ini. Meski berbeda
dengan candi yang ada di Jawa, namun keberadaannya jelas memberikan
informasi tentang keberadaan candi di Kalimantan.
Hikayat Banjar
Hikayat Banjar diwariskan secara tuttur lisan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Banjar. Orang-orang “modern” akan menganggap cerita hikayat ini tak lebih sebagai sebuah dongeng karena banyak kejadian yang diceritakan di dalamnya berada di luar jangkauan akal manusia. Namun, ternyata dari Hikayat Banjar ini diperoleh keterangan tentang keberadaan Candi Agung Amuntai dan Candi Laras (Margasari Rantau) yang tentu merupakan informasi berharga sebagai pijakan untuk melakukan penelusuran terhadap keberadaan dua candi tersebut.
Hikayat Banjar diwariskan secara tuttur lisan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Banjar. Orang-orang “modern” akan menganggap cerita hikayat ini tak lebih sebagai sebuah dongeng karena banyak kejadian yang diceritakan di dalamnya berada di luar jangkauan akal manusia. Namun, ternyata dari Hikayat Banjar ini diperoleh keterangan tentang keberadaan Candi Agung Amuntai dan Candi Laras (Margasari Rantau) yang tentu merupakan informasi berharga sebagai pijakan untuk melakukan penelusuran terhadap keberadaan dua candi tersebut.
Alkisah, seperti dituturkan dalam
Hikayat Banjar, sebuah pelayaran dilakukan oleh Ampu Jatmaka dengan
armada Prabayaksa. Ampu Jatmaka merupakan seorang saudagar dari Keling,
yang sebelum pergi diwasiati oleh orangtuanya agar ia harus bersinggah
di suatu wilayah yang berhawa panas, dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai
karena hawanya dirasa sesuai dengan wasiat itu. Karena Ampu Jatmaka
menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan anak raja, ia membangun
sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan Candi Agung. Dan
untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung
replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.
Ampu Jatmaka memunyai dua orang anak: Ampu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat ). Kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih Kerajaan. Suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau Kerajaan Dipa tidak memunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu (kini Sungai Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terakhir pertapaannya sebuah petunjuk gaib datang bahwa ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada Kerajaan Dipa pada saat itu. Setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa, tak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di Kerajaan Dipa dan diberi nama Putri Junjung Buih.
Ampu Jatmaka memunyai dua orang anak: Ampu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat ). Kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih Kerajaan. Suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau Kerajaan Dipa tidak memunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu (kini Sungai Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terakhir pertapaannya sebuah petunjuk gaib datang bahwa ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada Kerajaan Dipa pada saat itu. Setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa, tak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di Kerajaan Dipa dan diberi nama Putri Junjung Buih.
Ampu Mandastana,
saudara Lambung Mangkurat, memunyai dua orang anak yaitu Bambang
Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan Putri
Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa dan keanggunannya tidak
dapat ditandingi oleh siapa pun. Karena merasa kedua keponakannya tidak
sesuai untuk sang putri, Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah
danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “Lubuk Badangsanak” (Danau Berdarah) yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.
0 komentar:
Posting Komentar