Sabtu, 13 Desember 2014

Kondisi Alam Masyarakat Melayu Riau

KONDISI ALAM MASYARAKAT MELAYU RIAU4.jpg
KONDISI ALAM MASYARAKAT MELAYU RIAU

Pada dasarnya, kondisi alam memliki peranan penting dalam membentuk suatu kebudayaan manusia. Maka penting bagi kita untuk menjabarkan kondisi Alam yang dihuni oleh Masyarakat Melayu Riau yang secara administrasi berada di dalam wilayah Propinsi Riau pada umumnya terbagi ke dalam dua bagian, yakni; Riau daratan dan Riau Kepulauan. Luas wilayahnya meski telah berkurang menjadi 101.000 km2, wilayah Riau ini masih tergolong relatif luas dan sebagian besar hingga 95,79% terdiri atas perairan.
Daerah Riau daratan sebagian besar terdiri dari hutan-hutan, hutan primer dan hutan sekunder dan tidak kurang pula di sana-sini terdapat rawa-rawa, bencah-bencah, tasik-tasik, danau-danau, serta pantainya yang landai. Pada umunya Riau daratan ini merupakan tanah rendah dan bukit-bukit yang terdapat dekat perbatasan dengan daerah Sumatera Barat dan Tapanuli, yaitu kaki Bukit Barisan. Daerah yang tertinggi 1.019 meter dari permukaan laut.
Sementara daerah Riau kepulauan terdiri dari gugusan-gugusan pulau-pulau dekat perairan Malaysia dan menjorok masuk ke Laut Cina Selatan dan dekat dengan pantai Kalimantan Barat dengan jumlah 513 pulau. Gugusan pulau-pulau itu adalah: Gugusan pulau-pulau Bintan, Gugusan pulau-pulau Lingga, Gugusan pulau-pulau Serasan, Gugusan pulau-pulau Tambelan, Gugusan pulau-pulau Tujuh, Gugusan pulau-pulau Bunguran, Gugusan pulau-pulau Natuna, Gugusan pulau-pulau Karimun.
Kandungan tanah di Riau pada umumnya berisi bebatuan pra tersier yang berupa metamor dengan sendimen yang terbatas. Jenis tanahnya pada umunya terdiri atas: organosol dan clay, humik, podsol, podsolik, lotosol, dan latosol yang mengandung granit.
Iklim yang yang menyelimuti Riau adalah tropis dengann temperatur terendah 23 derajat Celcius dan tertinggi 30 derajat Celcius. Kelembaban udaranya sekitar 88 derajat, sedangkan curah hujannya rata-rata 2.000 milimeter per tahun.
Dengan jenis tanah yang dimiliknya, memang Kepulauan Riau kurang cocok untuk budidaya tanaman pangan. Demikian juga tanaman komoditas lainnya, sepert; karet dan kelapa sawit, kecuali menggunakan teknologi modern atau canggihyang tentunya membutuhkan modal yang cukup besar. Sehingga masyarakat Riau memenuhi kebutuhan pangannya dengan cara membeli dari luar kepulauan Riau.
Seperti daerah tropis lainnya, masyarakat Kepulauan Riau juga mengenal musim kemarau dan penghujan. Selain musim yang umumnya dikenal oleh masyarkat tropis, mereka juga mengenal adanya musim yang didasarkan pada arah angin.  
Pada saat-saat angin bertiup dari arah uta, maka pada saat itu disebut sebagai musim utara. Ketika angin bertiup dari arah selatan, maka pada saat itu disebut musim selatan. Kemudian, pada saat angin bertiup dari arah timur, maka pada saat itu disebut musim timur. Begitu pun dengan angin barat.
Istilah tambahan musim di Riau menandakan bahwa kebudayaan masyarakat Riau adalah Maritim atau kelautan. Sejarah pun mencatat bahwa selat Malaka adalah daerah strategis perdagangan Internasional. Bahkan pernah menjadi salah satu pusat kerjaan Melayu, yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga.
Maka tak heran jika masyarakat Melayu Riau, memiliki kepercayaan animisme terhadap mitos, hantu-hantu, larang pantang yang berkaitan dengan kelautan selain hukum Islam. Selain itu, mereka pun mampu menandai waktu dan ruang di tengah lautan meski tanpa jam dan kompas, serta bahasa mereka yang menusantara.

0 komentar:

Posting Komentar