Sebelum
Islam masuk ke Gorontalo dan menjadi agama masyoritas yang dianut
masyarakatnya, di daerah tersebut berlaku stratifikasi sosial lokal yang
membagi masyarakat ke dalam sejumlah golongan. Setelah Islam masuk,
kendati stratifikasi sosial itu telah hilang, namun sisa-sisanya masih
bisa dirasakan.
Dahulu, pada zaman kerajaan pra-Islam, masyarakat Gorontalo terbagi ke dalam sejumlah kasta, yakni Olongia (raja-raja dan keturunannya), Wali-wali (para pejabat dan pembesar istana yang diangkat oleh raja dan keturunannya), Tuangolipu (rakyat atau penduduk kerajaan), dan Wato (budak, pelayan-pelayan istana, beserta keturunan mereka).
Hari
ini, pelapisan sosial tersebut semakin terkikis dalam keseharian hidup
masyarakat Gorontalo, terutama setelah Islam masuk pada abad ke-16 dan
menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Gorontalo. Sejatinya,
lapisan sosial yang pertama-tama memeluk Islam adalah para raja dan
bangsawan. Selanjutnya, lapisan sosial di bawahnya mengikuti jalan
mereka.
Walaupun
hari ini stratifikasi sosial semakin tidak kentara, namun masih bisa
diselidiki warna perbedaan di antara masyarakat Gorontalo. Masing-masing
keturunan dari lapisan sosial tersebut dalam kondisi-kondisi tertentu
masih merujukan dirinya pada silsilah leluhur mereka. Misalnya, para
keturunan golongan lapisan sosial rendah (Wato, Tuangolipu) merasa derajat social mereka lebih rendah daripada keturunan golongan lapisan sosial tinggi (Olongia, Wali-wali),
lantas merasa perlu bersikap hormat pada mereka. Sebaliknya, tak jarang
keturunan golongan lapisan sosial tinggi terpantik jiwa
superioritas-nya manakala menghadapi keturunan golongan sosial yang
lebih rendah daripada mereka.
Menurut
Tumenggung, dkk. (1983:53-54), salah satu kasus di mana lapisan
keturunan sosial tinggi merasa terpantik jiwa superior-nya adalah dalam
hal kesenian, di mana sejumlah nyanyian dan tari-tarian diidentifikasi
sebagai milik mereka, karena dalam sejarahnya hanya dilakukan oleh
leluhur-leluhur golongan mereka, dan terlalang menurut sejarah adat
untuk dilakukan oleh golongan lain di luar golongan mereka.
Tarian-tarian tersebut misalnya adalah tarian tidida’a atau tidilo-tonggalo dan tidilo palo-palo.
Namun
demikian, tak jarang juga dari keturunan-keturunan golongan sosial atas
yang berpikir dan bersikap demokratis. Dalam hal kesenian, misalnya,
mereka beranggapan bahwa nyanyian-nyanyian dan tari-tarian tersebut
sudah menjadi warisan kebudayaan semua golongan sosial masyarakat
Gorontalo. Dalam bahasa yang religius, semakin banyak orang Gorontalo
yang beranggapan bahwa semua adalah anugerah dari Tuhan, dan Tuhan tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan apapun kecuali derajat ketakwaan
umatnya. Dalam perkembangannya, hari ini, tari-tarian dan kesenian
lainnya yang dulu dianggap milik golongan social atas telah dimainkan
bebas oleh siapapun yang menginginkannya.
0 komentar:
Posting Komentar