Sabtu, 13 Desember 2014

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT MELAYU RIAU


Masyarakat Melayu Riau pada dasarnya terdiri dari dua dua stratifikasi Sosial atau golongan, yaitu golongan masyarakat asli dan golongan penguasa atau bangsawan kesultanan. Meskipun demikian, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar dan terbuka bagi kebudayaan lain. Sehingga banyak orang Arab dan Bugis yang menjadi bangsawan.
Wan adalah gelar bangsawan bagi orang Arab dan raja adalah gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka juga mendapat kedudukan yang sangat tinggi (Sultan Siak dan Sultan-sultan Kerajaan riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan untuk orang Melayu adalah tengku.
Pada awalnya kepala-kepala suku yang menguasai hutan tanah, “territorial” bernaung di bawah kerajaan Johor. Namun setelah Raja Kecil dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor dan membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dalam keadaan yang baru ini, pembagian golongan dalam masyarakat Riau mulai berlaku.
Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru sebagai berikut: Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas. Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak- haknya, seperti; keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara pun menunjukan adanya perbedaan itu.
Pada perkembangan kekinian, seiring dengan perubahan ketatanegaraan akhirnya berubah juga  stratifikasi sosial ini. Saat ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan dengan alam demokrasi sekarang. Sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan materiel seseorang menurut ukuran sekarang.
Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang mempunyai kemampuan materiel, bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya diperuntukan bagi seorang Raja atau Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekarang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, bukan lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya upacara adat ini hanya sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya dengan kejayaannya dengan masa lampau.
Dengan demikian, perkembangan budaya dalam pemahaman nation atau negara Indonesia hari ini, tidak mengenal kasta, strata, jenis tertentu dalam masyarkat. Hal ini menunjukkan sisi egalitarian bangsa Indonesia dalam menyikapi ragam budaya, serta garis sejarah yang panjang di masing-masing daerahnya.
Dengan sifat egalitarian ini, sangat memungkinkan perbedaan yang ada bisa kita duduk sejajar dalam bermasyarakat meski berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang yang berbeda. Dan pentingnya pembelajaran adat dan budaya nenek moyang adalah untuk memahami makna filosofis yang terkandung bukan untuk memperdalam jurang pemisaha kebhinekaan kita.

0 komentar:

Posting Komentar