1. Dasar-dasar stratifikasi sosial
Dalam
suatu masyarakat akan terdapat golongan paling atas yang disebut dengan
lapisan elit. Dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa
atau orang kebanyakan. Antara lapisan atasan dan lapisan bawahan
kadang-kadang terdapat lagi beberapa lapisan seperti yang terdapat pada
masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh pada zaman kerajaan dahulu dapat dibagi
ke dalam:
- Lapisan Raja
- Lapisan Ulee Balang
- Lapisan Ulama
- Lapisan Rakyat biasa
Lapisan
Raja berasal dari keturunan raja-raja yang memegang kekuasaan kerajaan.
Raja dan keturunannya dianggap sebagai lapisan elit. Maka lapisan raja
dihormati karena kekuasaan dan keturunan-keturunan mereka. Hingga
sekarang penghormatan masyarakat kepada keturunan raja-raja masih tampak
dalam pergaulan hidup sehari-hari seperti mengenai panggilan. Panggilan
yang lazim kepada keturunan raja dalam kehidupan sehari-hari disebut ampon, bila laki-laki, dan cut nyak (cut) bila perempuan. Walaupun perbedaan-perbedaan yang lain tidak tampak lagi antara keturunan raja dengan orang biasa.
Di bawah lapisan raja, terdapat lapisan Ulee balang, sebagai wakil raja untuk daerah-daerah kerajaan kecil. Maka, kadang-kadang untuk seorang ulee balang disebut juga dengan ulee balang cut. Di
samping lapisan itu terdapat juga lapisan yang menentukan dalam bidang
agama. Maka pada tiap-tiap kerajaan munculah golongan ulama. Dan lapisan
yang paling bawah adalah lapisan rakyat biasa.
Sesungguhnya
pada masyarakat Gayo tidak ada dasar pelapisan yang tegas. Karena itu
dasar pelapisannya cepat bergeser. Sebagai dasar utama dari pelapisan
sosial dalam masyarakat Gayo adalah senioritas dalam umur. Pihak yang
usianya lebih tua lebih mendapat status yang tinggi dalam masyarakat
Gayo. Selain daripada usia yang tua itu, juga orang yang dituakan.
Seseorang dapat dituakan karena statusnya akibat perkawinan. Memang pada
akhirnya dasar stratifikasi sosial ini telah mengalami
perubahan-perubahan.
Pada masyarakat Aceh Tamiang zaman kerajaan dahulu, dasar-dasar stratifikasi sosial dapat dibagi ke dalam:
- Lapisan raja
- Lapisan datuk empat suku.
- Lapisan khadli dan Imam.
- Lapisan datuk delapan suku.
- Lapisan rakyat biasa.
2. Perubahan-perubahan dalam Stratifikasi Sosial
Pada
zaman kemerdekaan dasar-dasar stratifikasi sosial masyarakat Aceh pada
umumnya seperti di atas tadi, sudah mulai berubah. Namun lapisan-lapisan
tersebut masih tampak dalam masyarakat, tetapi lapisan-lapisan tersebut
tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kehidupan sehari-hari. Susunan golongan-golongan yang memerintah sudah
banyak berubah. Sudah ada orang-orang dari lapisan lain yang menduduki
fungsi pemerintahan, mulai dari susunan pemerintahan paling bawah sampai
kepada pemerintahan atasan seperti Kecik, Kepala mukim dan Camat kepala
pemerintahan Kecamatan.
Dahulu
untuk memilih susunan penjabat pemerintahan tersebut, harus dilihat
dari keturunan secara turun-temurun, dan berikutnya mengenai kecakapan.
Dengan perkembangan beberapa Perguruan Tinggi di Aceh seperti
Universitas Syiah Kuala, IAIN Jamuah Arraniry, APDN, dan beberapa
perguruan tinggi swasta, maka semakin mendorong proses perubahan
stratifikasi sosial di Aceh. Banyak pimpinan-pimpinan pemerintahan
tingkat kabupaten telah menjabat Bupati yang bertitel kesarjanaan dari
perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas.
Begitu
pula Camat Kepala Pemerintahan Kecamatan, hampir semua bertitel sarjana
muda dari APDN. Jabatan Mukim dan Kecik sudah banyak dijabat oleh
orang-orang yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan
memerintah. Tidak lagi berpola kepada keturunan secara turun-temurun.
Proses perubahan di atas mendorong rakyat untuk berlombalomba memasukkan
anaknya ke Perguruan Tinggi tersebut di atas, agar dapat menduduki
fungsi tertentu dalam pemerintahan. Seirama dengan itu pendidikan non
formal yang sudah lama dibina seperti pesantren-pesantren, sekarang
sudah banyak yang kosong.
Karena
tamatan dari Pesantren, tidak banyak memberikan arti terhadap status
sosial dewasa ini. Dari proses perubahan stratifikasi sosial di atas,
maka dewasa ini masyarakat Aceh pada umumnya dapat dikelompokkan ke
dalam empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan, dan pegawai negeri
b. Kelompok Ulama, orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.
c. Kelompok kekayaan (hartawan).
d. Kelompok rakyat.
Keempat
kelompok masyarakat tersebut, tampaknya tidak memberikan batas-batas
yang tajam. Antara suatu kelompok dengan mudah dapat memasuki kelompok
yang lain. Timbulnya kelompok-kelompok itu, tampaknya dari hasil
kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan
dengan mudah dapat masuk ke dalam kelompok penguasa. Atau seseorang yang
mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi
bagian dari kelompok Ulama.
Kelompok
kekayaan dan kelompok rakyat biasanya dengan mudah beralih ke dalam
kedua kelompok tersebut di atas, andaikata telah memperoleh
pengetahuan-pengetahuan yang cukup. Tetapi dewasa ini tampaknya kelompok
kekayaan lebih mudah beralih ke dalam kelompok-kelompok lain. Karena
bagi kelompok ini mempunyai kemampuan yang besar untuk menyekolahkan
anaknya. Tetapi bagi rakyat biasa, ulama dan sebagian pegawai negeri
kesempatan menyekolahkan anaknya banyak terbentur dari segi keuangan.
Dengan
demikian pada suatu saat kelompok kekayaan akan menjadi kelompok
penguasa. Pada masyarakat Gayo dasar untuk menentukan adanya pelapisan
sudah berubah-rubah dalam tempo yang relatif cepat. Pernah pihak yang
dipandang tinggi dalam masyarakat adalah orang yang mendapat kedudukan
menurut adat. Pada masa yang lain atas dasar pengetahuan dalam agama,
pengetahuan sekuler, kekayaan, kejujuran dan lain-lain. Namun dasar
utama yaitu senioritas dalam usia selalu masih terlihat.
0 komentar:
Posting Komentar