Berdasarkan
Lembaga Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (Hasan, 1980:12)
terdapat sebelas suku bangsa di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yaitu
Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkel, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa,
Batak, dan Campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari sebelas suku bangsa ini,
Jawa dan Batak adalah suku pendatang. Suku bangsa Pulau lebih dikenal
dan resmi disebut "orang Pulo Banyak" yang berdomisili di Pulau-pulau
Banyak.
Dari ke-sebelas suku bangsa yang berada di Aceh, Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kab. Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dan biasa disebut Tanah Alas. Kata "alas" dalam bahasa Aceh, Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan.
Lawe Alas (Sungai Alas) adalah salah satu di antara banyak sungai yang
lalui daerah Tanah Alas. Dengan karakter alam yang demikian, bisa
dipastikan bahwa daerah tersebut sangatlah subur.
Berdasarkan
sejarah, hubungan antara suku Alas dan Batak telah terjalin ratusan
tahun yang lalu. Harahap (1958:36) menulis bahwa menurut tambo keturunan
Siraja Batak, dari Samosir berserak orang Batak ke pelosok Tanah Batak,
yaitu: orang Gayo, Alas, Karo, dan Simalungun ke utara danau itu. Jaman
dahulu kala, diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari
Tanah Karo ke Tanah Alas, bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan
pengikutnya adalah merga Selian.
Di
Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje
Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang
merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga
adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk
Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah
mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas
(Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).
Namun
Siahaan (1964:113) berkesimpulan bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan
kesadaran tergolong suku Batak semakin menipis. Suku Alas dan Gayo tidak
bersedia menyebut dirinya Batak. Tetapi penyelidikan tentang sistem
marga, hukum adat, dan bahasa dapat memberi kesimpulan bahwa banyak ciri
yang sama antara ketiga suku itu, terutama antara suku Alas dengan
Batak.
Dari
segi kebahasaan, Suku Alas memliki struktur bahasa dan kosa kata yang
hampir sama dengan bahasa-bahasa di Batak, yaitu Tapanuli Selatan (atau
Mandailing dan Angkola), Toba, Dairi, Simalungun, dan Karo, tetapi
bahasa Alas tidak memiliki aksara sebagaimana dimiliki oleh suku-suku
Batak. Hal ini terjadi karena kefanatikan suku Alas terhadap agama
Islam, berakibatkan penulisan bahasa mereka dengan aksara Arab, atau
lebih dikenal dengan huruf Jawi, bukan aksara Batak.
Dari sudut pandang pemukiman, desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Adapun merge
atau marga–marga dari suku Alas yaitu: Bangko, Deski, Keling, Kepale
Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh,
Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin,
Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Terigan.
Aceh
Tenggara, yang memiliki panorama alam dan keragaman etnis tersebut
membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan
bervariasi. Setiap unsur masyarakat saling berbaur dan saling
mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Saling
mendukung dan bertoleran. Tidak pernah mengenal persinggungan di antara
mereka.
0 komentar:
Posting Komentar