Hukum Waris Suku Melayu Jambi Dalam Sistem Kekerabatan Billateral
Bagi
masyarakat pedesaan di daerah Jambi, begitu pun masyarat Melayu Jambi,
pada dasarnya mereka menganut prinsip kekerabatan billateral, oleh
karena itu setiap individu dalam menarik garis keturunannya selalu
menghubungkan dirinya kepada pihak ayah maupun pihak ibu. Denga kata
lain hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan kaum kerabat dari
pihak ayah tetap sederajat dengan perhubungannya terhadap kaum kerabat
ibunya. Oleh karena ini dikenal pepatah Jambi “Anak dipanggu kemenakan
dijinjing”.
Prinsip
billateral itu sesungguhnya tidak mempunyai suatu akibat yang selektif,
karena bagi setiap individu semua kaum kerabat ibu mau pun semua
kerabat kaum ayah masuk dalam hubungan kekerabatannya. Sehingga tidak
ada batas sama sekali.
Orang Melayu Jambi mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka memiliki prinsip “adat menurun, syarak mendaki, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”,
artinya "segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat
berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari ajaran-ajaran agama,
yaitu Al quran dan dan Hadits"
Dalam
prinsip kekerabatan billateral Suku Melayu Jambi, garis keturunan
ditarik dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat
terkecil dan menjadi basis perhitungan batas hubungan kekerabatan di
antara satu sama lain.
Suatu
kombinasi yang timbul dari dua prinsip yang berlainan nampak pada
penentuan hak waris, terutama penyelesaian masalah hak waris. Keberadaan
Islam dengan Fikh-nya yang patrilinear sebenarnya telah menggantikan
keberadaan aturan adat tentang hak waris terutama di Palembang, Jambi
dan pesisir Kalimantan. Namun kenyataannya tidak jarang di tengah
masyarakat billateral masih ditemukan hasil musyawarah adat yang
menentukan pembagian harta waris orang tua dibagi sama pada seluruh
anak-anaknya.
Hukum adat Jambi berdasarkan pada “Adat Lamo Puseko Usang”
yaitu “Undang” dengan “Teliti”. “Undang” yang dimaksud disini adalah
peraturan adat istiadat yang berasal dari nenek moyang dan aturan-aturan
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan “Teliti” adalah
peraturan adat istiadat yang telah dipengaruhi dan diperkuat oleh agama
Islam.
“Undang”
dan “Teliti” ini disatukan menjadi satu kesatuan sehingga menjadi adat
istiadat Jambi yang berasaskan dasar : Adat bersendi Syarak, Syarak
bersendi Kitabullah. Maka kita dapat melihat bahwa hukum yang berlaku
pada masyarakat Melayu Jambi adalah hukum adat terutama dalam hal
kewarisan. Hal ini tidak terlepas dari ajaran Islam karena masyarakat
Melayu Jambi mayoritas beragama Islam.
Hukum
adat Suku Melayu Jambi adalah jika anak yang diangkat berasal dari
lingkungan keluarga sendiri, maka akan mengakibatkan hubungan hukum anak
yang diangkat tersebut dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Jika
anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang berlainan agama dengan
orang tua angkatnya, maka anak tersebut setelah diangkat akan masuk
kedalam agama Islam, maka secara langsung hubungan hukumnya dengan orang
tua kandungnya terputus.
Sementara
dalam hukum Islam pengangkatan anak merupakan tindakan hukum yang
menimbulkan akibat hukum tetapi tidak menimbulkan hubungan saling
mewaris. Dan dalam peraturan perundang-undangan pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung
sehingga tetap berstatus sebagai anak kandung dari orang tua kandungnya.
0 komentar:
Posting Komentar