Kekerabatan
yang digunakan oleh masayarakat suku Sumbawa, yaitu sistem penarikan
garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan
perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat
pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah
yang sama, misal eaq untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata,
yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau
nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa
dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.
Pada
kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat
tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas
tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan
tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat
dari santek atau bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan
genting). Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang
anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung
keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan perpaduan
antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan
arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan
lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan
kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai
kekerabatan yang begitu kuat seperti tercermin dalam lawas:
Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa)
Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau)
Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati)
Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu)
Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja)
Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap)
Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda)
Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke tanah)
Mate bakolar ke lolo (mau hancur bersama sanak kerabat)
Tata
cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara
adat yang kompleks, mengadopsi prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar
yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa.
Sebagian masyarakat Sumbawa percaya apabila upacara barodak
ini tidak dilaksanakan akan muncul musibah bagi pengantin maupun
keluarganya dalam bentuk munculnya penyakit rabuyak, seperti
benjol-benjol di kepala disertai gatal-gatal, kesurupan, keluar darah
dari mata bila menangis, tiba-tiba tulang rusuk keluar bebepa
centimeter, dan berbagai jenis penyakit aneh lainnya yang disebabkan
melanggar upacara daur kehidupan. Selanjutnya pada sebagian masyarakat
Sumbawa yang mempercayai pandangan ini, sandro berperan dalam menentukan
hari baik, menemukan jenis benda yang digunakan untuk proses
penyembuhan penyakit rabuya, serta melakukan pengobatan dan membangun
komunikasi secara gaib dengan leluhur si sakit. Akan tetapi, kepercayaan
ini mulai nampak memudar seiring pemahaman mereka pada bidang kesehatan
dan bergesernya pola berpikir yang menganggap tidak masuk akal
menghubungkan antara munculnya berbagai jenis penyakit tertentu ini
dengan bentuk upacara adat daur kehidupan, selain juga dianggap oleh
sebagian masyarakat bentuk kepercayaan demikian ini sangat tidak Islami.
Satu
hal manarik dalam sistem perkawinan tau Samawa yang dianggap ideal
adalah perkawinan antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas:
Balong tau no mu gegan (secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap)
Lenge sempu no gantuna (sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya)
Denganmu barema ngining (bersamamu mengarungi suka dan duka)
Lawas
ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah
terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya dan
bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri
walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan
dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini
mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa
adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang
seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar
bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya
dan lebih mengutamakan milik sendiri.
Dalam
perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin
sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak
sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam
pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya
walau dalam syariat Islam diperbolehkan.
Delik
perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan
anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua
sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat ngirang
bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering
diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak
laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak
korban.
Bagi
anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta
perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak
keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa
berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga
wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.
0 komentar:
Posting Komentar