Orang
Minahasa memegang prinsip keturunan secara bilateral, atau
memperhitungkan hubungan kekerabatan baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan, dengan jangkauan kekerabatannya umumnya hanya sampai generasi
ketiga. Dalam memilih jodoh, penelusuran asal-usul biasa dilakukan,
untuk memastikan muda-mudi yang hendak terlibat pernikahan berada di
luar jangkauan kekerabatan tiga generasi tersebut.
Setelah
menikah, pasangan suami-istri bebas menentukan tempat tinggalnya, baik
itu di lingkungan sang Istri atau suami. Di Minahasa, keluarga inti (saanakan)
dapat terdiri dari: suami-istri ditambah anak-anak kandung (yang belum
menikah); dapat pula terdiri dari suami-istri ditambah anak kandung,
anak tiri, atau anak angkat; janda/duda, dengan anak-anak, baik anak
kandung, anak tiri, maupun anak angkat; suami-istri yang tidak mempunyai
anak; atau dapat pula janda/duda yang hidup sendiri.
Dalam
satu rumah, ada kalanya terdiri lebih dari satu keluarga inti, karena
terkadang ada saja anak-menantu yang baru menikah, masih mentap satu
atap dan satu dapur bersama orang tua mereka, atau terkadang ada juga
saudara lainnya yang masih menumpang, seperti keluarga adik, keluarga
kakak, dan lain sebagainya. Pada tipe keluarga luas seperti ini, budaya
gotong royong biasanya lebih kuat, seperti bekerja di ladang yang sama.
Dalam sistim kekerabatan orang Minahasa, dikenal konsep klen kecil yang disebut taranak. Setiap taranak dipimpin oleh seorang tua unta ranak, yakni laki-laki yang dianggap tertua dalam keluarga. Beberapa hal yang menonjol dari konsep taranak di Minahasa adalah pada bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa yang disebut Hukumtua.
Dalam pembagian warisan, tanah warisan disebut sebagai kelakeran (milik banyak orang). Tanah klakeran
bisa dibagikan kepada ahli waris untuk dikelola sendiri-sendiri, atau
jika luas tanah tidak mencukupi untuk dibagikan, maka akan dikelola
secara bergantian dengan siklus satu tahunan atau biasa disebut tanah kalakeran pataunen (milik bersama yang dipakai bergiliran per tahun).
Menyangkut urusan kematian, selain tolong-menolong dalam bentuk tenaga dan materi untuk anggota kerabat yang meninggal, taranak
juga mengenal konsep kuburan famili (kerabat) dalam lingkup klen kecil,
yang biasanya dinamai dengan nama keluarga nenek moyang mereka, sebagai
contohnya adalah kuburan famili Lapisan, kuburan famili Woraang, dan
kuburan famili Warouw. Konsep gotong royong yang serupa juga tercermin
dalam penyelenggaraan pernikahan.
Sementara dalam hal pemilihan kepala desa atau Hukumtua, biasanya terjadi persaingan antar taranak, di mana taranak
yang jumlah anggotanya lebih banyak akan lebih mudah untuk meraih
kemenangan ketika ada salah satu anggota mereka yang mencalonkan diri.
0 komentar:
Posting Komentar