Perahu
bagi masyarakat suku bangsa Bugis Makassar menjadi amat penting, karena
berkaitan dengan mata pencaharian suku bangsa ini. Secara umum mereka
bekerja sebagai nelayan di laut atau saudagar yang merantau, dan mencari
daerah baru. Pengetahuan tentang perahu dimulai dengan adanya sampan-sampan kecil yang berkembang menjadi lebih maju.
Ada beragam pinisi yang dipakai oleh masyarakat Bugis. Ditengarai dimulai dengan adanya perahu jenis Pa’dewekang yaitu
jenis perahu yang telah dilengkapi dengan berbagai keperluan untuk
persiapan perjalanan jauh. Pada masa lampau perahu jenis ini digunakan
oleh orang Bugis dan Makassar dalam pelayaran mereka menuju pantai utara
benua Australia.
Keahlian
membuat perahu dikuasai oleh orang-orang dari daerah Ara, Lemo-lemo dan
Bira. Keahlian dari orang-orang di tiga daerah ini dikuatkan oleh
adanya mitos Sawerigading dimana kapal Sawerigading lunasnya terdampar di pantai Ara, sottingnya
terdampar di pantai Lemo-lemo dan tali temalinya di pantai Bira. Oleh
karena itu keahlian membuat perahu hanya dimiliki oleh orang-orang dari
ketiga daerah dimana terdamparnya perahu Sawerigading.
Berbagai
bentuk dan jenis ini akan sesuai dengan fungsinya masing-masing
berkaitan dengan aktivitas yang dilaksanakannya. Jenis-jenis perahu yang
dapat ditemui pada masyarakat di Sulawesi Selatan antara lain adalah:
Sampan,
biasanya dibuat dari batang kayu yang besar , dengan cara
dipahat/dikeruk untuk mendapat rongga memanjang. Rongga atau ruang ini
untuk penumpang dan barang. Pada bagian depan dan belakang runcing dan
tipis dengan maksud agar dapat bergerak cepat. Sampan atau biasanya di Sulawesi Selatan disebut lepa-lepa digunakan
untuk menangkap ikan (memancing atau menjala) dan hanya dinaiki oleh
dua atau tiga orang. Jenis inilah yang banyak dijumpai di gua-gua dalam
bentuk lukisan.
Soppe,
jenis perahu yang sudah lama berkembang dan digunakan oleh masyarakat
sejak jaman pra sejarah. Jenis perahu inilah yang diduga para ahli
sebagai perahu tua yang digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia
dalam usahanya untuk bermigrasi mencari daerah yang lebih aman. Perahu soppe biasanya disebut juga dengan perahu bercadik. Bentuknya menerupai jenis perahu sampan,
tetapi dibuat lebih panjang dan lebih besar. Pada bagian sisi kanan
dan kirinya dibuat alat keseimbangan yang disebut dengan cadik dan
dibuat dari batang bambu. Untuk penyangga cadik biasanya dibuat dari
kayu agar lebih tahan lama. Perahu soppe biasanya dilengkapi dengan
layar berbentuk segitiga untuk penggerak laju perahu. Perahu-perahu
semacam ini dapat disaksikan hampir di seluruh Indonesia tetapi tentunya
dengan nama-nama yang berbeda-beda.
Jarangka, perahu ini bentuknya seperti perahu soppe tetapi
lebih besar dan dinding kanan kiri terdapat dinding yang lebih tinggi
disertai atap yang terbuat dari daun atau papan sebagai tempat berteduh.
Perahu ini mempergunakan sebuah layar yang berbentuk segi empat da nada
juga yang mempergunakan dua buah layar lebar.
Sande atau Sandeq, yaitu perahu yang merupakan milik orang Mandar. Bentuk dari perahu ini hampir sama dengan jenis soppe,
tetapi lambungnya agak ramping sehingga gerakannya lebih cepat dan
lincah. Pada bagian kanan dan kirinya terdapat cadik yang panjang .
bagian haluan dan buritannya mencuat ke atas dan layar perahu jenis ini
berbentuk segitiga.
Pa’dewakang,
perahu jenis ini diduga muncul pada masa awal perkembangan Islam, atau
paling lambat pada abad ke-18 dan merupakan tipe utama dari sekian
banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Perahu ini
merupakan cermin teknologi baru dalam pembuatan perahu. Perahu Pa’dewakang
tidak dibuat dari satu batang kayu tetapi dibuat dari papan-papan
dengan memakai lunas. Pada perahu ini terdapat dua buah layar yaitu
layar yang berbentuk segi empat, lebar dibagian tengah, sedangkan di
bagian depan dipasang layar berbentuk segi tiga yang lebih kecil. Daya
angkut perahu jenis ini mencapai 10 ton. Dengan perahu niliah kira-kira
abad ke-16 digunakan oleh orang Makassar untuk mencapai benua Australia
dalam usahanya mencari tripang, kerang dan mutiara. Pada perkembangan
kerajaan Goa, Somba Opu, orang-orang Makassar telah menggunakan perahu
jenis ini untuk berdagang ke timur dan barat.
Lambok,
perahu jenis ini adalah perahu khas milik orang Mandar dan orang Buton.
Bentuknya seperti sekoci dengan buritan bulat, sedangkan haluanya
runcing dan mencuat ke atas. Perahu ini mempunyai daya angkut 15 - 60
ton.
Pajala dan Patorani,
kedua perahu ini mempunyai bentuk yang hampir sama. Perahu ini berlayar
dengan menggunakan layar segi empat dengan sebuah tiang layar yang
besar. Daya angkut dari perahu jenis ini adalah sekitar 4 ton.
Salompong,
adalah sejenis perahu berukuran besar dengan layar berbentuk persegi
empat besar dengan tiang penyangga layar berada di depan perahu.
Pinisi,
jenis perahu ini pada dasarnya tidak hanya semata sebagai alat
transportasi untuk mengangkut orang dan barang, akan tetapi lebih kearah
pada simbol keperkasaan, kemajuan dan kebanggaan bagi masyarakat
sukubangsa Bugis. Sehingga pembuatan perahu ini harus disertai dengan
segala macam mitos dan ritual. Semangat dari orang Bugis ini terpampang
pada suatu pepatah yang telah mendarah daging bagi masyarakat, yaitu “kualleangi tallang na towella” yang berarti “lebih baik tenggelam daripada surut kembali sebelum tujuan tercapai (mencapai tujuan).”
Beberapa
tahapan dalam proses pembuatan perahu menjadi sangat penting bagi
proses pembuatan perahu itu sendiri, dan tahapan ini akan selalu diikuti
untuk menghasilkan sebuah perahu yang baik dan laik berlayar. Disini
diuraikan beberapa tahapan dalam proses pembuatan perahu Pinisi bagi
orang Bugis.
1.
Persiapan awal pembuatan perahu adalah penebangan pohon yang sudah
dipilih sesuai dengan peruntukkannya dan yang terpenting adalah mencari
pohon untuk pembuatan lunas perahu serta dua buah penyambungnya untuk ke
depan dan ke belakang. Penebangan ohon dilakukan pada saat-saat yang
tepat, baik hari maupun jam (saat) penebangan, dan biasanya dilakukan
sebelum ada tengah hari, karena ketika tengah hari menurut keyakinan
orang Bugis adalah sangat dipantangkan untuk memotong kayu. Untuk
bagian-bagian tertentu dari perahu biasanya dipilih kayu yang telah
terbentuk secara alami. Pohon-pohon yang melengkung merupakan pilihan
utama untuk membuat rangka perahu. Kemudian dilakukan pembuatan
konstruksi bawah perahu.
2. Pembuatan lunas (kalabisiang)
merupakan bagian yang terpenting karena bagian ini merupakan yang rawan
terhadap kebocoran. Lunas terbuat dari balok kayu jati yang berukuran
sekitar 30 – 40 cm. setelah lunas selesai dibuat kemudian dilakukan
persiapan untuk penyambungan. Teknik penyambungan ada dua macam yaitu
teknik laso (sambungan masuk) dan teknik jembatan (teknik tumpuk). Untuk
memperkuat sambungan dipergunakan pasak kayu, tetapi sekarang pasak
kayu diganti dengan pasak dari besi (baut dan mur). Kemudian juga
disiapkan pengepak (merupakan suatu bagian yang mempertemukan dinding perahu bagian kanan dan kiri yang terletak miring pada lunas), uru sangkara (papan pertama), sotting (dasar perahu bagian depan dan belakang) dan kanjai.
3. Pemasangan papan dasar (terasal).
Papn termasuk bagian dasar perahu. Ketebalannya akan berbeda satu
dengan lainnya, dan papan-papan yang berada dibagian bawah harus lebih
tebal daripada papan yang ada di atasnya. Papan terasal dipasang setelah selesai pemasangan pengepak, pemasangan mula sangkara (papan pertama) dan papan kanjai. Papan-papan terasal disambung dengan system pen dan setiap pen berjarak 15-20 cm.
4.
Pemasangan rangka. Pemasangan rangka perahu bertujuan untuk memperkuat
dinding perahu yang terdiri dari balok-balok dan papan kayu di
bagian bawah dengan berbagai ukuran. Tahap pemasangan rangka ini
dimulai dari bawah dan semakin ke atas semakin tipis. Kegiatan yang
penting dalam tahap ini adalah:
- Kelu, yaitu balok (tulang yang paling bawah) yang berbentuk sebagai pengikat papan terasal.
- Penyambung kelu (gading)
- Saloro (balok rangka di antara kelu, tulang atau penguat pada bagian kiri dan kanan perahu) penyambung saloro
- Lepe (galar, kayu yang merangkai gading-gading)
- Lepe kalang (tempat kalang bertumpu)
- Lepe batang (lepe pada bagian perut perahu)
- Taju (tempat pengikat kawat dan tali-tali perahu), pengikat lunas (depan, belakang dengan papan terasal)
5. Setelah
dilakukan pemasangan rangka perahu dan diding perahu, selanjutnya
dikerjakan bagian belakang perahu. Pada bagian ini penting karena di
tempat itu terdapat bagian kemudi yang merupakan ‘jantung’ perahu.
Setelah bagian belakang selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan bagian
yang menghubungkan lamma (papan
lemah, dinding perahu bagian atas) dengan lunas depan dan belakang.
Lalu dilanjutkan dengan pembuatan anjungan, pembuatan bagian tiang agung
dan pembuatan sambungan-sambungan papan dan mendempulnya.
Pembuatan perahu pinisi tentunya
tidak akan lepas dari bahan pembuatan perahu itu sendiri yang berupa
kayu-kayu yang telah dibuat papan-papan dengan ukuran panjang dan lebar
yang telah ditentukan. Dalam pembuatan perahu ini diperlukan 126 papan
kayu jati yang pemasangannya dapat dirinci sebagai berikut:
- Susunan pertama dua lembar
- Susunan kedua enam lembar
- Susunan ketiga delapan lembar
- Susunan keempat terdiri dari papan-papan penghubung ada yang ukuran panjang dan papan-papan pendek yang dipergunakan sebagai penghubung antara papan dengan sotting (linggi).
- Susunan kelima sepuluh lembar
- Susunan keenam sepuluh lembar
- Susunan ketujuh sepuluh lembar
- Susunan kedelapan dua belas lembar
- Susunan kesembilan empat belas lembar
- Susunan kesepuluh enam belas lembar
- Susunan kesebelas delapan belas lembar
- Susunan keduabelas sepuluh lembar
0 komentar:
Posting Komentar