Dalam
hubungan kekerabatan, orang Biak mengusut keturunannya melalui garis
ayah atau bersiaf patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang
dianut menuurut pembagian adalah sistem Iroquois, yaitu penggunaan satu
istilah yang sama untuk menyebut kelas kerabat tertentu. Misalnya
istilah naek digunakan untuk saudara-saudara kandung dengan
sudara-saudara sepupu paralel—anak-anak saudar laki-laki ayah, dan
anak-anak dari saudara perempuan ibu—yang berbeda dari istilah napirem
untuk menyebut semua saudara sepupu silang—anak-anak dari saudara
perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu—pada generasi
Ego.
Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna. Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, mébin, dan semua saudara laki-laki ibu disebut paman, mé.
Dalam
kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut di
atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu,
baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang.
Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan
tersebut sebagai perkawinan inses.
Menurut
pengklasifikasian tersebut, semua saudara sepupu sejajar, dikelompokkan
ke dalam satu kelas dengan saudara-saudara kandung ego sendiri. Hal itu
terlihat pada penggunaan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara kandung sendiri dengan saudara-saudara sepupu sejajar.
Konsekwensi dari penyamaan saudara-saudara sepupu sejajar dengan
saudara-saudara kandung sendiri adalah, bahwa di anatara mereka tidak
mungkin akan dilakukan ikatan perkawinan.
Fenomena
larangan terhadap perkawinan antara saudara-saudara sekandung merupakan
gejala universal, juga terdapat pada orang Biak, sehingga tidak menarik
perhatian kita di sini untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apa
yang menjadi alasan larangan tersebut.
Hal
yang paling menarik adalah larangan terhadap perkawinan antara
anggota-anggota saudara sepupu silang dalam kebudayaan orang Biak. Pada
banyak kebudayaan di tempat lain, baik di luar Papua maupun di Papua
sendiri, misalnya pada orang Waropen, perkawinan antara saudara-daudara
sepupu silang justru merupakan preferensi.
Larangan
tersebut merupakan manifestasi dari hubungan avunkulat (atau relasi
paman-keponakan) yang disimbolisasikan dalam upacara inisiasi pemuda
yang disebut war k’bor. Dalam upacara tersebut terjadi bahwa saudara
perempuan makan makanan yang telah dicampurkan dengan tetesan darah yagn
diambil dari kulit bagian atas alat kelamin saudara laki-laki yang
menjadi inisiandus.
Tindakan
ini mengungkapkan secara simbolik penyatuan dua person (inisiandus dan
saudara perempuannya). Akibat pengidentifikasian diri ini ialah bahwa
anak-anak saudara laki-laki adalah juga anak-anak saudara perempuan atau
sebaliknya. Konsekwensinya ialah bahwa di antara mereka tidak boleh
diadakan ikatan perkawinan.
Bantuk-bentuk
manifestasi lain dari hubungan avunkulat (relasi paman-keponakan) ialah
peranan paman sebagai mentor bagi keponakannya (keponakan laki-laki)
untuk berkebun, menangkap ikan berburu dan teknik-teknik berperang. Jika
paman kebetulan memiliki keahlian tertentu seperti misalnya pandai
besi, atau ahli membuat perahu, maka keahlian-keahlian ini dapat
diajarkan juga kepada keponakannya.
Hubungan
tersebut juga diwujudkan dalam bentuk hak waris, ialah pewarisan gelar
paman kepada keponakan laki-laki yang sulung. Suatu tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang biasanya berlaku dalam
masyarakat yang menganut prinsip kekerabatan yang bersifat patrilineal.
Perkwainan Suku Biak
Prinsip
perkawinan yang dianut oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu
adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak
boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian istri harus diambil dari keret
lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan.
Selanjutnya
pola perkawinan ideal menurut orang Biak, terutama pada waktu lampau,
adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange marriage, yaitu
pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari dua keret
yang berbeda. Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang Biak
mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui
peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun
sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah
perkawinan melalui peminangan, fakfuken.
Menurut
tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan peminangan
pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses peminangan
adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan perkawinan,
apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan tersebut.
Tentang
pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon penganten pria
maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan dinikahkan tidak
dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang itulah yang
menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya.
Keadaan
yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah, sebab
anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi calon
pasangan hidupnya nanti. Biasanya penentuan pilihan itu didasarkan atas
hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi
sebelumnya. Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak
orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses
sampai kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut
di atas.
Pola
menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan
baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering
terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk
waktu tertentu di rumah orang tua atau wali isteri. Hal ini disebabkan
oleh karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya membantu membuka kebun baru,
membangun rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua
isterinya sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar.
Biasanya
apabila pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang
dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa
maskawin, maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang
suami.
Dalam
adat perkawinan suku Biak, hal pertama yang dilakukan adalah melamar.
Ada dua cara melamar pada suku Biak. Pertama dinamakan Sanepen, yaitu pinangan yang dilakukan oleh pihak orang tua sewaktu anaknya masih kecil. Cara melamar yang kedua disebut fakfuken, yaitu pinangan yang dilakukan oleh orang tua pria setelah anak berumur 15 tahun ke atas.
Setelah itu diadakan acara perkawinan. Sehari sebelum hari pernikahan, masing-masing pihak mengadakan samrem, yaitu acara makan bersama semua saudara laki-laki dari pihak ibu. Pihak wanita memberikan asyawer, yaitu seperangkat senjata berupa tombak, panah, dan parang kepada pihak pria. Pihak pria harus menebusnya dengan asyawer pula, baru acara pernikahan dapat dilanjutkan.
Upacara
dilakukan oleh kepala adat. Mula-mula kepala adat memberikan sebatang
rokok untuk diisap pengantin pria dan selanjutnya diisap pengantin
wanita. Kemudian kedua mempelai saling menyuapi makanan dengan ubi atau
talas bakar. Dengan demikian selesailah upacara pernikahan dan kedua
mempelai sah sebagai suami istri. Pemberkatan pernikahan oleh kepala
adat disebut wafer. Acara ditutup dengan makan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar