Di
tepi Pulau Penyengat, Kepualauan Riau, dapat dilihat sebuah masjid yang
berdiri sejak dua abad lalu dengan empat menara yang tingginya mencapai
19 meter. Pulau ini dapat ditempuh menggunakan perahu atau pompong dari
Tanjung Pinang. Sebagaimana namanya, masjid ini merupakan salah satu
peninggalan Kesultanan Riau yang masih terawat dan berfungsi hingga
sekarang.
Pertama
kali dibangun pada tanggal 7 Rabiulawal 1218 H atau 1803 M pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud. Kemudian pada masa pemerintahan Raja Ja’far
dilakukan pelebaran masjid. Adapun pembangunan masjid secara
besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang
Dipertuan Muda Riau-Lingga, sebagai pengganti Raja Ja’far. Setelah itu,
pembangunan masjid dilakukan secara gotong royong yang diperintahkan
oleh Raju Abdul Rahman pada tahun 1832. Dengan demikian, masjid ini
dibangun secara berlanjut oleh raja-raja Riau. Dari yang semula
bermaterialkan kayu, hingga bermaterialkan beton. Pemugaran pernah
dilakukan pada tahun 1982/1983 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Riau.
Masjid
beserta halamannya memiliki luas 54,4 x 32,2 m dan dikelilingipagar
tembok. Kompleks masjid ini terdiri dari masjid sebagai bangunan induk,
dua buah bangunan di sisi timur sebagai tempat penyimpanan berbagai
keperluan untuk perayaan hari besar islam, dan dua bangunan seperti
pendopo sebagai tempat pengajian. Selain itu, masih terdapat bangunan
tempat wudhu yang berada di utara dan selatan bangunan induk. Atap
masjid mempunyai 13 kubah yang diapit dengan 4 buah menara. Jumlah kubah
dan menara tersebut melambangkan jumlah rakaat shalat wajib dalam
sehari. Untuk memasuki kompleks dapat menggunakan tangga naik.
Bangunan
induk masjid didirikan di atas areal yang sudah disemen dan diratakan
setinggi tujuh hasta dari permukaan tanah. Material bangunannya terbuat
dari beton dengan warna dasar kuning pada temboknya. Warna kuning ini
merupakan warna khas kejaayaan Melayu. Berdasarkan cerita sejarah
setempat, pembangunan masjid juga menggunakan putih telur sebagai
perekat. Oleh karena itu, masjid ini juga dikenal sebagai masjid putih
telur. Bangunan masjid terbagi ke dalam serambi dan ruang utama. Pintu
masuk ruang utama berada di sebelah timur, utara, dan selatan. Di dalam
ruang utama terdapat empat buah tiang utama yang terbuat dari beton dan
sebuah mimbar yang konon berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Di dalam
Masjid Raya Sultan Riau juga terdapat Al-Qur’an yang bertuliskan tangan
dan dua lemari perpustakaan Kerajaan Raiau-Lingga yang berukir kaligrafi
di sisi kiri-kanan. Al-Qur’an tersebut ditulis oleh putera Riau,
Abdurrahman Istambul, yang dikirim belajar ke Turki pada tahun 1867.
0 komentar:
Posting Komentar