Berbicara
soal sistem kepemilikan tanah, kita akan langsung menghubungkannya
dengan Undang-undang Pokok Agraria no. 5 tahun ‘60. Di dalamnya terdapat
segala bentuk hukum modern dan tradisional soal sistem kepemilikan
tanah dan cara penyelesaian konfliknya. Dan hukum pertanahan tradisional
salah satunya adalah hukum adat yang dimiliki oleh Suku Melayu Jambi.
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa suasana adat dan hukum adat masih hidup
dengan subur di kalangan kelompok-kelompok masyarakat pedesaan. Oleh
sebab itu dalam rangka mengenal sistem milik terhadap suatu ladang,
sangat ditentukan oleh aturan persekutuan hukum di desa itu.
Karena
setiap warga desa bukan hanya terpaut ke dalam persekutuan hukum, di
dalmnya mncakup pula persekutuan usaha dengan tanah sebagai modalnya.
Untuk membina dan mengawasi jalannya persekutuan itu, otomatis berada di
tangan kepala desa sebagai pemegang hak persekutuan atas tanah.
Hak
persekutuan akan menjadi lemah apabila tanah-tanah hutan yang telah
dipilih oleh seorang warga persekutuan dengan sepengetahuan kepala desa
untuk diolah dengan cara pembuatan tanda larangan atau tanda-tanda lain
yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah mulai digarap. Jika warga
itu terus menerus menanami tanahnya itu dengan tanaman keras, maka ia
akan memperoleh hak milik atas tanah yang sangat mantap dan kekal.
Begitu
pula dengan aturan sistem kepemilikan yang berlaku di seluruh pedesaan
dalam daerah Jambi. Setiap tanah di wilayah di desa tertentu apabila
digarap oleh warganya, maka si penggarap mempunyai kesempatan untuk
memiliki tanah tersebut. baik penggarapan secara perelak, kebon mudo,
dan sebagainya.
Berikut
ini adalah aturan dasar tentang syarat atas kepemilikian sebidang tanah
yang akan atau bisa atau dinyatakan telah menjadi milik seseorang.
Sebidang
tanah dinyatakan telah menjadi milik seseorang apabila tanah itu sedang
ditanami oleh orang yang memiliki tanaman-tanaman tersebut. Namun bila
sebidang tanah belum ada orang yang memiliki sebelumnya, maka seluruh
tanah tersebut termasuk seluruh tanaman di dalamnya sepenuhnya menjadi
milik si penggarap.
Setelah
panen selesai, di ladang, kebon mudo, atau di perelak bila di dalamnya
tidak terdapat tanaman keras yang ditanami oleh penggarap, maka dalam
jangka waktu satu musim yang akan datang, tanah tersebut masih menjadi
milik si penggarap sebelumnya. Maka si penggarap yang baru selesai panen
harus bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada si penggarap
sebelumnya.
Apabila
di ladang, kebon mudo atau perelak ditanami dengan tanaman keras oleh
si penggarap, walau pun tanah dengan tanaman keras itu telah
ditinggalkannya berpuluh-puluh tahun, maka masih tetap menjadi hak milik
orang yang menanam tanaman keras tersebut.
Dengan
beberapa peraturan di atas, kita bisa melihat, bahwa aturan kepemilikan
tanah berdasarkan pada kepemilikan tanaman yang di tanam di atas tanah
oleh si penggarap. Jadi status kepemilikan seseorang akan dinyatakan
lemah ketika tidak terdapat tanamannya atau hasil jirih payahnya di atas
tanah tersebut.
Dalam
hal ini, kita bisa menangkap makna dari aturan kepemillikan tanah di
atas bahwa keberadaan tanah akan tetap, tidak susut, dan tidak untuk
diperjual-belikan melainkan untuk ditanami. Maka siapa yang bertanam
maka ia yang akan memanen. Dan siapa yang bertanam pertama kali di atas
tanah tersebut, maka siapa pun penggarap setelahnya harus mengembalikan
tanah tersebut kepadanya setelah panen satu musim.
Peraturan
adat seperti di atas, sebenarnya telah terangkum dalam UUPA dalam sub
khusus peraturan adat, berikut dengan status tanah adat. Betapa bijak
jika kita memperlakukan tanah sebagai harta yang bermanfaat untuk diolah
dan ditanami.
0 komentar:
Posting Komentar