Sabtu, 13 Desember 2014

Sistem Kepemilikan Tanah Suku Melayu Jambi


Berbicara soal sistem kepemilikan tanah, kita akan langsung menghubungkannya dengan Undang-undang Pokok Agraria no. 5 tahun ‘60. Di dalamnya terdapat segala bentuk hukum modern dan tradisional soal sistem kepemilikan tanah dan cara penyelesaian konfliknya. Dan hukum pertanahan tradisional salah satunya adalah hukum adat yang dimiliki oleh Suku Melayu Jambi.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa suasana adat dan hukum adat masih hidup dengan subur di kalangan kelompok-kelompok masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu dalam rangka mengenal sistem milik terhadap suatu ladang, sangat ditentukan oleh aturan persekutuan hukum di desa itu.
Karena setiap warga desa bukan hanya terpaut ke dalam persekutuan hukum, di dalmnya mncakup pula persekutuan usaha dengan tanah sebagai modalnya. Untuk membina dan mengawasi jalannya persekutuan itu, otomatis berada di tangan kepala desa sebagai pemegang hak persekutuan atas tanah.
Hak persekutuan akan menjadi lemah apabila tanah-tanah hutan yang telah dipilih oleh seorang warga persekutuan dengan sepengetahuan kepala desa untuk diolah dengan cara pembuatan tanda larangan atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah mulai digarap. Jika warga itu terus menerus menanami tanahnya itu dengan tanaman keras, maka ia akan memperoleh hak milik atas tanah yang sangat mantap dan kekal.
Begitu pula dengan aturan sistem kepemilikan yang berlaku di seluruh pedesaan dalam daerah Jambi. Setiap tanah di wilayah di desa tertentu apabila digarap oleh warganya, maka si penggarap mempunyai kesempatan untuk memiliki tanah tersebut. baik penggarapan secara perelak, kebon mudo, dan sebagainya.
Berikut ini adalah aturan dasar tentang syarat atas kepemilikian sebidang tanah yang akan atau bisa atau dinyatakan telah menjadi milik seseorang.
Sebidang tanah dinyatakan telah menjadi milik seseorang apabila tanah itu sedang ditanami oleh orang yang memiliki tanaman-tanaman tersebut. Namun bila sebidang tanah belum ada orang yang memiliki sebelumnya, maka seluruh tanah tersebut termasuk seluruh tanaman di dalamnya sepenuhnya menjadi milik si penggarap.
Setelah panen selesai, di ladang, kebon mudo, atau di perelak bila di dalamnya tidak terdapat tanaman keras yang ditanami oleh penggarap, maka dalam jangka waktu satu musim yang akan datang, tanah tersebut masih menjadi milik si penggarap sebelumnya. Maka si penggarap yang baru selesai panen harus bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada si penggarap sebelumnya.
Apabila di ladang, kebon mudo atau perelak ditanami dengan tanaman keras oleh si penggarap, walau pun tanah dengan tanaman keras itu telah ditinggalkannya berpuluh-puluh tahun, maka masih tetap menjadi hak milik orang yang menanam tanaman keras tersebut.
Dengan beberapa peraturan di atas, kita bisa melihat, bahwa aturan kepemilikan tanah berdasarkan pada kepemilikan tanaman yang di tanam di atas tanah oleh si penggarap. Jadi status kepemilikan seseorang akan dinyatakan lemah ketika tidak terdapat tanamannya atau hasil jirih payahnya di atas tanah tersebut.
Dalam hal ini, kita bisa menangkap makna dari aturan kepemillikan tanah di atas bahwa keberadaan tanah akan tetap, tidak susut, dan tidak untuk diperjual-belikan melainkan untuk ditanami. Maka siapa yang bertanam maka ia yang akan memanen. Dan siapa yang bertanam pertama kali di atas tanah tersebut, maka siapa pun penggarap setelahnya harus mengembalikan tanah tersebut kepadanya setelah panen satu musim.
Peraturan adat seperti di atas, sebenarnya telah terangkum dalam UUPA dalam sub khusus peraturan adat, berikut dengan status tanah adat. Betapa bijak jika kita memperlakukan tanah sebagai harta yang bermanfaat untuk diolah dan ditanami.

0 komentar:

Posting Komentar