Prinsip-prinsip
keturunan pada masyarakat Aceh umumnya menganut prinsip patrilineal.
Prinsip patrilineal masyarakat Aceh ditentukan oleh status anak, bila
salah seorang orang tuanya meninggal dunia. Apabila ibu meninggal, yang
bertanggung-jawab térhadap anaknya adalah ayahnya.
Tetapi
apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi
adalah wali dari pihak. ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang
sekandung. Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada,
maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki
dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang
laki-laki pula. Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi
wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan.
Saudara-saudaranya
yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat.
Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu kawin ango atau juelen, kawin angkap, dan kawin kuso-kini, yang seakan-akan menentukan prinsip-prinsip keturunan. Bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk belah ayahnya.
Apabila terjadi cere banci (cerai karena perselisihan), maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya. Tetapi apabila terjadi cere kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab belah ayah yaitu walinya. Bentuk perkawinan angkap. di mana pihak laki-laki (suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya.
Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara.
Bentuk perkawinan nangkap nasap terjadi disebabkan oleh pihak keluarga
perempuan tidak ada keturunan laki-laki. Ia ingin memperoleh anak
laki-laki yang dimasukkan ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki
disebut dengan penurip-murip peunanom mate artinya
memelihara semasa hidup dan menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena
itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya.
Bila terjadi cere banci, ayahnya
tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi semua harta asal dari
ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu. Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya
suami meninggal, harta tetap dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetap
tanggung jawab terhadap anak yang diserahkan kepada pihak ayah.
Andaikata suami yang meninggal dunia dan ternyata tidak meninggalkan
anak, harta miliknya otomatis semuanya menjadi miliknya istri.
Bentuk perkawinan angkap sentaran sering pula disebut dengan angkap edet atau angkap perjanyin. Seorang laki-laki (suami) dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya,
sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukannya peminangan. Status
sementara ini berlangsung selama suami belum memenuhi semua persyaratan
seperti mas kawin yang telah, ditentukan dalam perjanjian angkap sementara, atau syarat-syarat lain seperti misalnya saudara dari istri yang laki-laki belum menikah.
Status anak dalam bentuk perkawinan angkap sentaran ini tetap menganut istem "matrilineal" seperti dalam angkap nasap tadi. Status anak dalam kedua bentuk perkawinan angkap ini
perlu diadakan studi lanjutan, karena masih kurang jelas dilihat dari
segi pembagian harta pusaka dan fungsi wali dari pihak ayah.
Selain
dari kedua bentuk perkawinan di atas dalam masyarakat Gayo, masih
terdapat suatu bentuk perkawinan lain yang dapat menentukan
prinsip-prinsip keturunan yaitu bentuk perkawinan kuso-kini (ke
sana-ke mari). Bentuk ini merupakan perkembangan baru di Gayo. Bentuk
perkawinan ini memberikan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah tempat menetap. Apakah masuk belah istri atau belah suami.
Sehubungan dengan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah, maka
anakanaknya tetap menganut prinsip patrilineal. Bentuk perkawinan
inilah yang paling banyak sekarang dilakukan dalam masyarakat Gayo.
Dengan demikian bentuk perkawinan ango atau juelen dan bentuk perkawinan angkap sedang mengalami proses perubahan ke dalam bentuk perkawinan kuso kini.
Generasi
muda sekarang menunjukkan suatu gejala untuk menghindari perkawinan
dalam kedua bentuk perkawinan di atas tadi, yang dapat mengikat mereka
dengan belah. (sering orang mengacaukan prinsip patrilineal
dengan adanya perkawinan yang matrilokal di Gayo ini. Akan tetapi,
mungkin meskipun seseorang kawin secara patrilokal (juelen), matrilokal (angkap) atau kuso-kini prinsip keturunannya tetap patrilineal).
0 komentar:
Posting Komentar