Sabtu, 13 Desember 2014

Prinsip-Prinsip Keturunan Pada Masyarakat Aceh


Prinsip-prinsip keturunan pada masyarakat Aceh umumnya menganut prinsip patrilineal. Prinsip patrilineal masyarakat Aceh ditentukan oleh status anak, bila salah seorang orang tuanya meninggal dunia. Apabila ibu meninggal, yang bertanggung-jawab térhadap anaknya adalah ayahnya.
Tetapi apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi adalah wali dari pihak. ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang sekandung. Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang laki-laki pula. Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan.
Saudara-saudaranya yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat. Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu kawin ango atau juelen, kawin angkap, dan kawin kuso-kini, yang seakan-akan menentukan prinsip-prinsip keturunan. Bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk belah ayahnya.
Apabila terjadi cere banci (cerai karena perselisihan), maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya. Tetapi apabila terjadi cere kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab belah ayah yaitu walinya. Bentuk perkawinan angkap. di mana pihak laki-laki (suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya.
Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara. Bentuk perkawinan nangkap nasap terjadi disebabkan oleh pihak keluarga perempuan tidak ada keturunan laki-laki. Ia ingin memperoleh anak laki-laki yang dimasukkan ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki disebut dengan penurip-murip peunanom mate artinya memelihara semasa hidup dan menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya.
Bila terjadi cere banci, ayahnya tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi semua harta asal dari ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu. Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya suami meninggal, harta tetap dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetap tanggung jawab terhadap anak yang diserahkan kepada pihak ayah. Andaikata suami yang meninggal dunia dan ternyata tidak meninggalkan anak, harta miliknya otomatis semuanya menjadi miliknya istri.
Bentuk perkawinan angkap sentaran sering pula disebut dengan angkap edet atau angkap perjanyin. Seorang laki-laki (suami) dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya, sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukannya peminangan. Status sementara ini berlangsung selama suami belum memenuhi semua persyaratan seperti mas kawin yang telah, ditentukan dalam perjanjian angkap sementara, atau syarat-syarat lain seperti misalnya saudara dari istri yang laki-laki belum menikah.
Status anak dalam bentuk perkawinan angkap sentaran ini tetap menganut istem "matrilineal" seperti dalam angkap nasap tadi. Status anak dalam kedua bentuk perkawinan angkap ini perlu diadakan studi lanjutan, karena masih kurang jelas dilihat dari segi pembagian harta pusaka dan fungsi wali dari pihak ayah.
Selain dari kedua bentuk perkawinan di atas dalam masyarakat Gayo, masih terdapat suatu bentuk perkawinan lain yang dapat menentukan prinsip-prinsip keturunan yaitu bentuk perkawinan kuso-kini (ke sana-ke mari). Bentuk ini merupakan perkembangan baru di Gayo. Bentuk perkawinan ini memberikan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah tempat menetap. Apakah masuk belah istri atau belah suami.
Sehubungan dengan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah, maka anakanaknya tetap menganut prinsip patrilineal. Bentuk perkawinan inilah yang paling banyak sekarang dilakukan dalam masyarakat Gayo. Dengan demikian bentuk perkawinan ango atau juelen dan bentuk perkawinan angkap sedang mengalami proses perubahan ke dalam bentuk perkawinan kuso kini.
Generasi muda sekarang menunjukkan suatu gejala untuk menghindari perkawinan dalam kedua bentuk perkawinan di atas tadi, yang dapat mengikat mereka dengan belah. (sering orang mengacaukan prinsip patrilineal dengan adanya perkawinan yang matrilokal di Gayo ini. Akan tetapi, mungkin meskipun seseorang kawin secara patrilokal (juelen), matrilokal (angkap) atau kuso-kini prinsip keturunannya tetap patrilineal).

0 komentar:

Posting Komentar