SUKU JAWA,DIPLOMASI DAN PERSAUDARAAN BERBASIS KULINER.
Masyarakat Jawa terkenal sebagai kelompok sosial yang ulet dalam mencari sumber-sumber penghidupan. Telah lama mereka dikenal sebagai bangsa perantau yang banyak menuai keberhasilan di tanah-tanah asing yang mereka datangi. Dalam hal ini, kuliner bisa disebut sebagai salah satu cara diplomasi yang mereka bawa untuk mengajak warga kota-kota besar maupun warga pulau-pulau lain di luar Jawa untuk berdamai dengan mereka.
Masyarakat Jawa terkenal sebagai kelompok sosial yang ulet dalam mencari sumber-sumber penghidupan. Telah lama mereka dikenal sebagai bangsa perantau yang banyak menuai keberhasilan di tanah-tanah asing yang mereka datangi. Dalam hal ini, kuliner bisa disebut sebagai salah satu cara diplomasi yang mereka bawa untuk mengajak warga kota-kota besar maupun warga pulau-pulau lain di luar Jawa untuk berdamai dengan mereka.
Di
antara beragam tempat makan atau jenis makanan yang bisa kita jumpai di
sekitar kita (terutama di kota besar), besar kemungkinan kita akan
menemukan sejumlah tempat makan khas Jawa, seperti Warung Tegal
(Warteg), kedai Pecel Lele Lamongan, kedai Bakso Solo, kedai Bakso
Malang, atau termasuk Angkringan Jogja/Solo, yang belakangan mulai
digandrungi warga kota-kota besar. Selain yang dirunut tersebut, masih
banyak tempat makan atau sajian khas Jawa lainnya yang menuai sukses di
negeri rantau. Lebih dari sekedar merantau dan berjualan, tradisi usaha
kuliner orang Jawa telah melahirkan pola hubungan sosial yang unik
antara sesama mereka di tanah perantauan, maupun antara mereka dengan
keluarga dan kerabat, juga antara mereka dengan desa asal mereka. Pola
hubungan sosial-geografis yang unik ini misalnya tergambar dalam kasus
para pelaku usaha Warteg, yang sering disebut pewarteg.
Di
tanah perantauan, yang umumnya kota-kota besar, para pelaku usaha
Warteg umumnya berhimpun dalam suatu perkumpulan, salah satu yang paling
terkenal di Jakarta adalah Koperasi Warung Tegal atau sering disebut
Kowarteg. Kowarteg, dan juga perkumpulan-perkumpulan sejenisnya, hari
ini menjadi ruang sosial yang menyokong keberlangsungan usaha mereka,
dan juga membangun solidaritas sosial di antara mereka. Serupa dengan
pewarteg, para penjaja Pecel Lele Lamongan dan Bakso Solo juga memiliki
perkumpulan-perkumpulan serupa, yang biasanya memiliki agenda rutin,
misalnya pertemuan arisan.
Dibandigkan
dengan yang lainnya, para pewarteg memang terbilang yang paling solid.
Bukan hanya antarsesamanya, melainkan juga antarkeluarga dan kerabat
mereka. Sebagai gambaran, satu Warteg atau beberapa Warteg biasanya
dikelola secara bergantian beberapa bulan sekali oleh beberapa keluarga
inti dalam sebuah keluarga besar. Bagi yang tidak sedang kebagian
mengelola, mereka biasanya tetap di desa dan bertani. Semakin luas
binsin Wateg sebuah keluarga, semakin banyak sanak famili yang mereka
ajak dari desa. Di Warteg-lah sering kali remaja-remaja putus sekolah
asal kampung halaman mereka berlabuh.
Dalam
alam sosial masyarakat Tegal, khususnya Desa Sidapurna dan Krandon,
yang 70 persen warganya berbisnis Warteg, kampung halaman merupakan aset
yang harus dijaga dan dilestarikan. Untuk itulah tak jarang mereka,
para pewarteg yang berhasil, tidak segan-segan mendistribusikan sebagian
hasil jerih payah mereka untuk pembangunan desa dan warga kampung
halamannya. Karena relatif terpenuhinya hajat dan solidaritas sosial
yang tinggi, adalah menjadi pantangan bagi warga desa untuk menjual
tanah dan sawah mereka kepada pihak-pihak ‘luar desa’.
0 komentar:
Posting Komentar