Sabtu, 13 Desember 2014

Suku Jawa, Diplomasi Dan Persaudaraan Berbasis Kuliner


SUKU JAWA,DIPLOMASI DAN PERSAUDARAAN BERBASIS KULINER.
Masyarakat Jawa terkenal sebagai kelompok sosial yang ulet dalam mencari sumber-sumber penghidupan. Telah lama mereka dikenal sebagai bangsa perantau yang banyak menuai keberhasilan di tanah-tanah asing yang mereka datangi. Dalam hal ini, kuliner bisa disebut sebagai salah satu cara diplomasi yang mereka bawa untuk mengajak warga kota-kota besar maupun warga pulau-pulau lain di luar Jawa untuk berdamai dengan mereka.
Di antara beragam tempat makan atau jenis makanan yang bisa kita jumpai di sekitar kita (terutama di kota besar), besar kemungkinan kita akan menemukan sejumlah tempat makan khas Jawa, seperti Warung Tegal (Warteg), kedai Pecel Lele Lamongan, kedai Bakso Solo, kedai Bakso Malang, atau termasuk Angkringan Jogja/Solo, yang belakangan mulai digandrungi warga kota-kota besar. Selain yang dirunut tersebut, masih banyak tempat makan atau sajian khas Jawa lainnya yang menuai sukses di negeri rantau.  Lebih dari sekedar merantau dan berjualan, tradisi usaha kuliner orang Jawa telah melahirkan pola hubungan sosial yang unik antara sesama mereka di tanah perantauan, maupun antara mereka dengan keluarga dan kerabat, juga antara mereka dengan desa asal mereka. Pola hubungan sosial-geografis yang unik ini misalnya tergambar dalam kasus para pelaku usaha Warteg, yang sering disebut pewarteg.
Di tanah perantauan, yang umumnya kota-kota besar, para pelaku usaha Warteg umumnya berhimpun dalam suatu perkumpulan, salah satu yang paling terkenal di Jakarta adalah Koperasi Warung Tegal atau sering disebut Kowarteg. Kowarteg, dan juga perkumpulan-perkumpulan sejenisnya, hari ini menjadi ruang sosial yang menyokong keberlangsungan usaha mereka, dan juga membangun solidaritas sosial di antara mereka. Serupa dengan pewarteg, para penjaja Pecel Lele Lamongan dan Bakso Solo juga memiliki perkumpulan-perkumpulan serupa, yang biasanya memiliki agenda rutin, misalnya pertemuan arisan.
Dibandigkan dengan yang lainnya, para pewarteg memang terbilang yang paling solid. Bukan hanya antarsesamanya, melainkan juga antarkeluarga dan kerabat mereka. Sebagai gambaran, satu Warteg atau beberapa Warteg biasanya dikelola secara bergantian beberapa bulan sekali oleh beberapa keluarga inti dalam sebuah keluarga besar. Bagi yang tidak sedang kebagian mengelola, mereka biasanya tetap di desa dan bertani. Semakin luas binsin Wateg sebuah keluarga, semakin banyak sanak famili yang mereka ajak dari desa. Di Warteg-lah sering kali remaja-remaja putus sekolah asal kampung halaman mereka berlabuh.
Dalam alam sosial masyarakat Tegal, khususnya Desa Sidapurna dan Krandon, yang 70 persen warganya berbisnis Warteg, kampung halaman merupakan aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Untuk itulah tak jarang mereka, para pewarteg yang berhasil, tidak segan-segan mendistribusikan sebagian hasil jerih payah mereka untuk pembangunan desa dan warga kampung halamannya. Karena relatif terpenuhinya hajat dan solidaritas sosial yang tinggi, adalah menjadi pantangan bagi warga desa untuk menjual tanah dan sawah mereka kepada pihak-pihak ‘luar desa’.

0 komentar:

Posting Komentar