TOPENG MADURA KETIKA ISLAM DISIARKAN OLEH PARA WALI, TOPENG DALANG PUN BERKEMBANG
Topeng merupakan alat upacara tradisional yang dimiliki oleh berbagai
daerah di Indonesia. Seni Topeng tidak saja dikenal di Aceh, Batak,
Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya, tetapi juga berkembang di Madura. Konon
istilah "topeng dalang" sudah dikenal luas di Madura sejak abad XV-XVI
untuk menamakan sejenis pertunjukan rakyat yang berbentuk teater topeng.
Hubungan yang akrab antara istana-istana Jawa dan Madura nampaknya
telah mendorong laju perkembangan seni topeng tersebut. Muncullah
kemudian topeng ukiran dan tokoh-tokoh baru yang disesuaikan dengan
wajah tokoh-tokoh wayang kulit.
Pada abad ke XIII Madura sudah menjadi salah satu pusat kegiatan
budaya di Nusantara selain Kerajaan Sangasari. Sebuah inskripsi baru
yang mewartai pembuatan makam para raja Madura di Asta (dekat Sumenep)
bertarikh 1212 Caka (1290 M) menunjang data tersebut. Pada waktu itu
telah berkembang jenis-jenis seni pahat, seni sastra dan seni musik
Madura, bahkan istana telah memiliki perbendaharaan sejumlah pustaka
sastra berjudul Rama, Arjuna Sasrabahu, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
Bentuk-bentuk kesenian itu kemudian semakin diperkaya lagi dengan
masuknya pengaruh Majapahit ketika Madura menjadi koloni Majapahit pada
abad XIV.
Pada abad XVII topeng dalang yang semula merupakan pertunjukan rakyat
itu kemudian berkembang menjadi salah satu jenis kesenian istana yang
sangat populer dan sangat "dibanggakan oleh para raja Jawa dan Madura.
Hubungan akrab antara istana-istana Jawa dan Madura nampaknya merupakan
faktor pendorong utama bagi perkembangan topeng dalang dalam kerajaan di
kedua daerah itu. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II
(1727-1749) bentuk topeng yang semula sederhana kemudian diperindah
dengan membuat topeng ukiran. Detail rambut, kumis, alis, cambang dan
ornamennya diukirkan secara menyeluruh. Hal itu kemudian berkembang pula
pada seni topeng di Madura, kendati tidak sehalus buatan pengukir
Kasunanan.
Ukiran topeng dari kraton Madura pada umumnya dititikberatkan pada
ikalan rambut dan ornamen yang menghiasi sebagian rambut di atas dahi
yang melintang sampai bagian atas telinga.
Perbendaharaan topeng diperkaya lagi dengan pembuatan topeng baru
yang disesuaikan dengan wajah tokoh-tokoh wayang kulit. Topeng Panji
yang semula dibuat berdasarkan wajah tokoh Panji wayang gedong, kemudian
dibuat berdasarkan wajah tokoh Arjuna wayang kulit. Topeng Klana Sepuh
dibuat berdasarkan wajah tokoh Dasamuka/Rahwana. Topeng Klana Timur
dibuat berdasarkan wajah tokoh Baladewa atau tokoh Boma. Topeng
Gunungsari dibuat berdasarkan wajah tokoh Samba dan sebagainya.
Pembaharuan ini juga diikuti oleh kalangan istana Madura. Tinjauan Filosofi
Perjalanan sejarah membuat peranan seni topeng bergeser dari
peranannya semula. Tari topeng tidak lagi merupakan pertunjukan sakral
atau sarana dalam melakukan ritus keagamaan, tetapi telah berubah fungsi
menjadi semacam kesenian hiburan yang membebaskan diri dari fungsi
magis. Sunan Kalijaga adalah yang pertamakah mencoba untuk menggunakan
kesenian rakyat itu sebagai alat dakwah dalam mengembangkan ajaran agama
Islam. Dengan berbagai upaya tokoh-tokoh topengnya ditambah dan
ceritanya pun disesuaikan dengan filsafat dan ajaran Islam. Tokoh, warna
topeng, bentuk mata, hidung disesuaikan dengan makna yang tersembunyi
pada perwatakan setiap tokoh.
Berkat kejelian para Wali dalam memanfaatkan pertunjukan topeng
sebagai media dakwah itulah maka seni topeng berkembang menjdi salah
satu bentuk teater rakyat yang sangat populer sejak abad XV sampai abad
XVIII dan XIX di kerajaan-kerajaan Jawa dan Madura. Beberapa tafsir
filsafat topeng yang secara visual tertuang pada tokoh utama antara lain
adalah Panji Sepuh, Rama dan Arjuna, (bayangan insan); Kumudaningrat,
Candrakirana, Sinta, Srikandi dan Sembadra (tujuan hidup): Klana Sepuh,
Raja Sebrang, Duryodana dan Dasamuka (nafsu amarah); Klana Timur,
Kumbakarna, Baladewa dan Boma (nafsu aluamah); Dewi Retno Jindogo,
Sarpakenaka dan Bonowati (nafsu supiah); Panji Timur, Gunungsari,
Kartala, Samba dan Bima (nafsu mutmainah).
Simbolis warna topeng Madura tidak jauh berbeda dengan simbolis warna
topeng Jawa. Tokoh ksatria yang paling utama dalam topeng Madura
seperti Rama, Arjuna dan tokoh Panji wajahnya diberi warna dasar hijau.
Karena Rama dan Arjuna adalah simbol bayangan insani, yang senantiasa
berusaha mencapai tujuan hidup lestari, selalu dijalan yang benar.
Tokoh Dewi Sinta, Dewi Sembodro di Madura dan Dewi Candrakirana
di Jawa yang melambangkan tujuan hidup diberi warna dasar keemasan.
Warna itu merupakan ungkapan kemuliaan hidup dalam bentuk materi (emas).
Tokoh Semar merupakan tokoh suci yang melambangkan kewaskitaan,
kesetiaan dalam mengabdikan diri kepada keadilan dan kebenaran, diberi
warna putih. Demikian juga Dewi Srikandi," Dewi Drupadi yang
melambangkan kesucian wanita. Warna merah pun tak ketinggalan,
mendominasi warna-warna topeng Madura. Topeng yang berwajah merah
terdiri dari tokoh ksatria atau raja yang bertubuh gagah perkasa, dan
juga para raksasa.
Selain warna dasar, ada unsur lain yang secara efektif sangat
membantu gambaran perwatakan pada topeng Madura, yaitu bentuk mata dan
bentuk batang hidung.
Khusus mengenai bentuk mata dan bentuk batang hidung ini
sangatlah membantu dalam membuat/menciptakan mimik (raut wajah) tokoh
sesuai dengan karakter/watak dari tokoh tersebut. Ada beberapa bentuk
mata yang dikenal: bentuk mata gabahan (watak mulia), bentuk mata
telengan (wajah yang tangguh), bentuk mata plelangan (perkasa tapi
keji), bentuk mata kelipan (arif bijaksana), bentuk mata penanggalan
(perangai culas, curang tapi cerdas).
Itulah beberapa unsur yang sangat berpengaruh dalam ekspresi bentuk
wajah topeng Madura. Dari beberapa contoh foto yang menyertai tulisan
ini terlihat jelas bagaimana hubungan antara bentuk dengan perwatakan
setiap tokoh.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar