TRADISI BERCOCOK TANAM SUKU BIMA
Aktivitas berladang merupakan warisan leluhur yang menjadi tradisi dan diwariskan secara turun temurun, begitupun bagi masyarakat Bima. Tradisi berladang mereka ditandai dengan kehidupan di atas gunung. Mereka menggarap ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu, ke gunung lainnya. Langkah ini juga ditempuh sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan tambahan dalam rangka bertahan hidup, juga usaha menjauhkan diri dari kemiskinan. Selain itu, perpindahan dan penyebaran penduduk, sangat dipengaruhi oleh tradisi berladang rakyat yang berpindah-pindah.
Aktivitas berladang merupakan warisan leluhur yang menjadi tradisi dan diwariskan secara turun temurun, begitupun bagi masyarakat Bima. Tradisi berladang mereka ditandai dengan kehidupan di atas gunung. Mereka menggarap ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu, ke gunung lainnya. Langkah ini juga ditempuh sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan tambahan dalam rangka bertahan hidup, juga usaha menjauhkan diri dari kemiskinan. Selain itu, perpindahan dan penyebaran penduduk, sangat dipengaruhi oleh tradisi berladang rakyat yang berpindah-pindah.
Untuk
memulai berladang, mereka mengadakan musyawarah terlebih dahulu. Hal
ini berkaitan dengan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki sibuk mempersiapkan seluruh peralatan seperti batu
asah/kamalo, parang/cila, kapak/ponggo, maupun tembilang/cu’a, serta
alat lainnya. Sementara kaum perempuan menyiapkan bekal untuk makan dan
minum. Itulah pembagian kerja dalam mecapai tujuan bersama. Kaum
perempuan juga melakukan penanaman pada ladang yang sudah disiapkan kaum
laki-laki.
Kaum
laki-laki membabat kayu (ngoho) pada lokasi yang akan dijadikan ladang
(oma). Pembabatan dilakukan berhari-hari, kadang menempuh waktu yang
cukup lama jika lahannya cukup luas. Untuk mempercepat, biasanya dengan
membiayai masyarakat lainnya untuk membantu pembabatan atau penebangan.
Setelah penebangan kayu selesai, kemudian dimulailah tahap berikutnya
yakni pembakaran.
Sebelum memasuki waktu penanaman padi, mereka melakukan ritual adat yang dilaksanakan di atas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang di lokasi tersebut.
Sebelum memasuki waktu penanaman padi, mereka melakukan ritual adat yang dilaksanakan di atas bukit, disertai dengan do’a bersama dan musyawarah. Proses tersebut berlangsung dengan dipimpin oleh orang “tua” atau orang yang percayakan sebagai tokoh masyarakat yang berladang di lokasi tersebut.
Penanam
padi di ladang yang dilakukan kaum perempuan, baik yang tua maupun muda
merupakan penanam buruhan. Di antaranya ada yang di upah/gaji dengan
memberikan uang tunai, beras, padi. Ada pula yang membantu dengan
kesepakatan. Di kala orang tersebut menanam padi di ladangnya, akan
dibantu kembali (cepe/cempe rima, weha rima).
Dalam
proses penanam, terdapat pula seseorang yang mengiringinya dengan biola
atau gambus, perpaduan keduangnya dalam bahasa bima di sebut “nggu’da
sagele”. Ndiri ro sagele merupakan sebuah harmoni yang hidup dalam
tradisi penanaman padi di ladang. Sagele dapat dilakukan dengan “biola”
yang disebut juga dengan ndiri, alat lainnya yang biasa juga di gunakan
yakni gambus (gambo). Kadangkala di iringi dengan lagu-lagu khas dana
mbojo, seperti haju jati, jaraledo, wadu ntanda rahi, sangiang, dan lain
sebagainya.
Biasanya,
proses penanaman padi di ladang akan lebih cepat jika diiringi dengan
alunan biola atau gambus. Penanaman akan dilakukan secara serentak,
syarat dengan kebersamaan. Alat yang digunakan semacam tembilang (cu’a
sagele) yang di rancang khusus untuk menanam padi di ladang, terbuat
dari sebilah besi, bentuknya memanjang, panjang sekitar 20 hingga 30 cm,
lebarnya satu atau satu setengah senti meter. Di bagian ujung atas
tembilang, terdapat sebuah lubang, yang sengaja di buat untuk dimasukan
kayu sebagai gagang dikala menanam. Gagangnya terbuat dari sebantang
kayu (Haju Luhu) yang telah di desain dengan baik dan berdiameter
sekitar 8 cm dan panjang 80 cm.
Tanaman
yang ditanam selain padi, ada pula jagung, wijen, gandum, mentimun,
labu, serta umbi-umbian lainnya. Beberapa tanaman tambahan merupakan
bahan pelengkap berupa sayur mayur selama menjalani hidup diladang,
kadangkala umbi-umbian yang dipanen itu dijual pula dipasar.
Ketika
memasuki musim panen, prosesnya hampir sama dengan musim tanam, yang
terlibat sepenuhnya ialah perempuan, perbedaannya yakni alat yang
digunakan untuk memanen berupa pemotong padi yang dalam bahasa bima
disebut “kentu”. Kentu digunakan khusus untuk padi gunung, sedangkan
sabit (rombe) digunakan untuk panen padi yang biasa ditanam disawah.
Padi
yang telah dipanen oleh perempuan, kemudian di ikat (to’do) agar bisa
di letakan dengan baik diatas pemikul. Untuk padi gunung, dibawa pulang
kerumah dengan dipikul (Lemba) oleh laki-laki dan perangkat pikulnya
terbuat dari bamboo (o’o) yang dirancang khusus untuk alat pikul padi,
gandum dan beberapa hasil panen lainnya. Perempuan bisanya menjunjung
(su’u) yakni meletakan padi di atas kepala, padi yang telah dikemas
dengan sarung atau kain itulah yang di junjung oleh perempuan.
Dalam
aktivitas berladang tercipta harmoni hubungan laki-laki dan perempuan,
harmoni hubungan manusia dengan alam. Harmoni kehidupan laki-laki dan
perempuan ditandai dengan pembagian kerja yang baik untuk mencapai
tujuan. Menciptakan keseimbangan peran karena kesatuan peran keduanya
ialah saling melengkapi.
0 komentar:
Posting Komentar