TEBANG SATU TANAM DUA KEARIFAN LOKAL SUKU TENGGER
Tengger
adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo
Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang
beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang
dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo. Setelah Islam mulai
masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak
maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang)
yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk
kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
Masyarakat
Tengger yang yang berada di daerah pengunungan Bromo memiliki kearifan
lokal terhadap lingkungan di sekitar. Hal ini merupakan ajaran leluhur
nenek moyang agar menjaga dan melestarikan lingkungan dan alam. Salah
satu masyarakat Tengger yang menjaga kearifan lokal dalam menjaga dan
mengelola hutan di daerahnya berada di desa Wonokitri.
Masyarakat
Tengger di desa Wonokitri memiliki tingkat kepedulian yang tinggi dalam
menjaga dan memelihara hutan. Hal itu terlihat dari kondisi hutan di
daerah tersebut yaitu hutan lindung. Salah satu adat yang dijaga oleh
masyarakat Tengger adalah tidak menebang hutan secara sembarangan.
Perilaku tersebut dilakukan atas dasar keyakinan dalam budaya mereka
yang harus dipatuhi yaitu “tebang satu tanam dua”. Arti pernyataan
tersebut yaitu apabila menebang satu pohon maka harus menanam minimal
dua pohon yang sejenis.
Selain
itu, untuk memenuhi kebutuhan air bersih berasal dari sumber mata air
dari sumber air pegunungan yaitu sumber mata air Tangor, Galingsari,
Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik yang terletak
di sebelah selatan desa. Selain itu juga, sebagian masyarakat
memanfaatkan limbah sisa hasil pembuangan rumah tangga untuk menyirami
tanaman dengan cara menampung air limbah di tempat penampungan kemudian
disalurkan melalui pipa plastik/slang ke arah tanaman yang akan
disarami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran tersendiri untuk air
limbah, biasanya di samping rumah yang dilewatkan pipa terpendam.
Kegiatan
masyarakat dalam menjaga sumber-sumber air adalah membersihkan dan
merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber air serta
melakukan perbaikan pada saluran yang merusak badan jalan akibat
longsor. Perbaikan saluran dilakukan dengan membuat tambak atau tanggul
tanah yang dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk. Kegiatan ini
merupakan bagian dari upaya masyarakat Tengger untuk menjaga
keseimbangan lingkungan. Dalam proses itu, masyarakat Tengger melakukan
bersama secara gotong royong.
Adapun
upaya untuk memelihara lingkungan masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri adalah dengan melakukan beberapa tradisi ritual upacara
berdasarkan adat dan kepercayaan mereka yaitu melakukan Upacara Leliwet,
Pujan, Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi jagung), Wiwit, Hari Raya
Kasad, Mayu (Mahayu) Desa, Mayu Banyudan Pujan Mubeng (Narundhung).
Pada setiap rumah di masyarakat Tengger
melakukan penanaman di area pekarangan. Tanaman yang di tanam adalah
tanaman untuk obat-obatan (apotik hidup) seperti dlingo, bengkhe, kunhir
dan kencur. Selain itu, masyarakat juga menanam tanaman lain seperti
bunga mawar, bunga sepatu, dan tanaman lainnya yang diperuntukkan bagi
sesaji. Ada juga penduduk yang menanam jenis tanaman sayuran untuk
kebutuhan sehari-hari. Kehidupan menyesuaikan lingkungan dan keyakinan
akan nenek leluhur mereka dapat terjamin dengan terselenggaranya
hubungan yang baik antara manusia yang hidup sekarang dengan nenek
moyang atau leluhurnya. Masyarakat Tengger saling bekerjasama untuk
menciptakan lingkungan menjadi lebih baik. Hal itu di lihat dari sikap
dan pandangan hidup mereka terhadap alam.
0 komentar:
Posting Komentar