Jumat, 12 Desember 2014

Gampong Dan Mukim


ASOSIASI DAN PERKUMPULAN SUKU TAMIANG, ACEH

Karena Tamiang merupakan suku yang terdapat di Aceh, maka gambaran umum struktur sosial di Aceh terdiri dari mukim, gampong dan lorong. Khusus untuk gampong dan mukin, masyarakat Tamiang hingga saat ini masih melestarikan struktur sosial tersebut. Sementara pada masyarakat Aceh umumnya, mukim dan gampong terkesan hilang. Mengenai pengertian dan fungsi mukim dan gampong telah dijelaskan dalam Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintah Mukim Dalam Privinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gampong merupakan organisasi sosial terkecil sebagai bentuk kesatuan hidup setempat. Gampong memiliki arti kampung atau desa. Gampong dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (masjid/madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah.
Meunasah berfungsi sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah, dakwah dan diskusi, musyawarah, penyelesaian sengketa, pengembangan kreasi seni, pembinaan dan posko generasi muda, forum asah terampil dan olahraga, pusat pemerintahan gampong. Dari fungsi tersebut, disimpulkan bahwa fungsi meunasah menjadi titik sentral pembangunan masyarakat.
Kumpulan dari beberapa gampong tersebut disebut dengan mukim. Mukim dipimpin oleh seorang imeum mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut atau penasehat adat. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,Ureueng Aceh (sebutan untuk orang Aceh) selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya.
Bila mengacu pada Qonun tadi, gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
Penyelenggaraan pemerintahannya dipegang oleh badan eksekutif yang disebut dengan Keuchik. Keuchik memegang fungsi Mono Trias Function (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang dibantu oleh Tuha Peut (sejenis LMD/LKMD) dan Imeum Meunasah, serta sekretaris gampong sebagai perangkat gampong.
Gampong memiliki sub struktur organisasi yang terdiri atas Perangkat/struktur lembaga adat, Pemangku adat/Fungsionaris adat, Hukum adat/norma, kaedah, Adat istiadat/reusam dalam berbagai implimentasi, seperti seremonial, seni penataan, seni ekpresi, dan Lembaga musyawarah adat/adat meusapat/pengadilan adat. Khususnya dalam urusan ekonomi kesejahteraan rakyat, Pemerintahan gampong memiliki beberapa lembaga, yaitu: Keujrun Blang, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, dan Syahbandar.
Lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Keujrun Blang merupakan ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian dan sengketa sawah. Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut (seungketa laot). Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan, perladangan, dan perkebunan pada wilayah gunung dan lembah. Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pajak retribusi pasar, Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
Adapun mukim sesuai dengan Qonun tadi merupakan kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.
Dalam masyarakat Aceh pada umumnya, mukim sudah mendarah daging, turun temurun dan mengakar dalam sosial budaya pada masyarakat sepanjang abad lamanya. Keberadaan mukim dalam sepanjang sejarahnya telah memberikan sumbangan yang berharga terhadap keberlangsungan masyarakat Aceh dalam berbagai perkembangan dan kemajuan.
Dalam pelapisan sosial masyarakat Tamiang, terdapat tiga lapisan sosial. Pertama adalah unghang bangsawan, yaitu golongan untuk para raja dengan keturunan yang ada pada keluarganya. Kedua adalah golongan unghang patoot, yakni golongan orang kaya yang mendapatkan kekuasaan dari raja. Sementara golongan yang ketiga adalah unghang bepake, yaitu masyarakat biasa yang beretinis Tamiang.
Melihat kelestarian adat tersebut masih terjaga, tradisi gorong royong pada masyarakat Tamiang masih melekat. Hal ini terutama pada pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian. Untuk mengairi sawah dan ladang mereka, masyarakat Tamiang membangun bendungan sebagai sistem irigasi yang digunakan. Mereka cukup menggantung air untuk sawah tersebut dari bendungan. Bila bendungan tersebut rusak, tentunya akan berakibat buruk pada hasil panen.

0 komentar:

Posting Komentar