Menurut
teori tentang evolusi keluarga dari G.A Wilken bahwa keadaan
perkembangan tertentu, manusia sedang membentuk suatu kelompok keluarga
inti di dalam masyarakat. Di dalam keluarga ada yang menjadi ketua
keluarga, ada ibu dan ayah. Di samping itu ada pula yang menjadi ketua
keluarga, ayah dan ibu dalam kedudukan yang sama. Jadi ada 3 sistem
kekerabatan yakni:
- Sistem kekerabatan menurut garis ibu
- Sistem kekerabatan menurut garis ayah, dan
- Sistem kekerabatan menurut garis ibu dan ayah.
Dalam
masyarakat daerah Kalimantan Selatan berdasarkan pada sistem
kekerabatan menurut garis ibu dan ayah. Tetapi diakui bahwa dalam
bidang-bidang tertentu, sistem kekerabatan di daerah itu menurut garis
ayah, seperti dalam hal wali atau asbah. Namun dalam bidang-bidang lainnya menurut garis ayah dan ibu.
Kelompok-kelompok kekerabatan.
Yang
dimaksud dalam kelompok kekerabatan adalah suatu kumpulan dari
keluarga-batih yang merupakan satu kesatuan. Bentuk dari pada kelompok
kekerabatan dalam masyarakat, mempunyai ciri paling sedikit lima unsur:
Suatu
sistem norma-norma yang mengatur kelakuan warga kelompok; mempunyai
suatu rasa kepribadian kelompok yang didasari oleh semua warganya;
aktivitas berkumpul warga kelompok secara berulang-ulang; suatu sistem
hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara warga kelompok; suatu
pimpinan atau pengurus yang mengorganisir kelompok; suatu sistem hak dan
kewajiban dari anggota terhadap harta produktif, konsumtif atau harta
pusaka.
Ada bentuk kelompok kekerabatan dengan mengambil atau satu tokoh atau keluarga yang masih hidup sebagai pusaka cakal-cakal.
Bentuk lain ialah hubungan kekerabatan diperhitungkan dengan mengambil
seorang nenek moyang tertentu sebagai pangkal keturunan. Selain itu ada
bentuk kelompok kekerabatan yang berdasarkan pada kaitan atau wilayah
yang mereka diami. Bentuk kelompok kekerabatan yang terakhir inilah
menimbulkan sebutan: orang Pahuluan dan orang Banjar.
Mengenai orang Pahuluan dapat lagi dibagi daerah-daerah yang lebih kecil
seperti: orang Kandangan, orang Barabai, orang Amuntai, orang Tapin dan
sebagainya.
Mengenai
ciri-ciri yang dikemukakan di atas tentang milik bersama, di daerah
Kalimantan Selatan dalam kelompok kekerabatan sekarang dapat dikatakan
tidak ada. Yang ada hanya pada keluarga batih, kecuali dalam hal harta
pusaka yang dipelihara bersama turun turun temurun seperti senjata,
kebun paikat, sungai Paiwakan dan lain lainnya bisa dibagi.
Keluarga Batih.
Dari
perkawinan terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang sering disebut
“keluarga inti”. Suatu keluarga batih terdiri dari seorang suami,
seorang atau beberapa orang istri dan anak-anak yang belum kawin dan
juga anak angkat atau anak tiri.
Keluarga Luas.
Keluarga
luas selalu terdiri dari lebih dari sutu keluarga-batih, yang
seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang erat dan biasanya hidup
tinggal bersama dalam suatu rumah. Bentuk keluarga luas yang ada lebih
banyak di daerah Kalimantan Selatan, ialah keluarga luas yang oxorilokal
yang terdiri dari suatu keluarga-batih senior dengan keluarga-keluarga
batih dari anak wanita. Keluarga batih menjadi keluarga luas dengan
perkembangan demikian. Seperti kebiasaan Kalimantan Selatan begitu tiba
saatnya bagi sepasang suami istri untuk berspisah keluarga induknya,
maka mereka itu berdiamlah dalam suatu rumah kecil yang dibangunnya
sendiri dari pemberian orang tua mereka. Lama kelamaan memperolah
beberapa orang anak (laki-laki dan perempuan). Setelah anak wanitanya
meningkat kedewasaan (balig), biasanya tidak lama kemudian dinikahkan .
yang keluarga tadi memperoleh seorang menantu (laki-laki) yang pada
umumnya tinggal serumah mertua/suami wanita.
Beberapa
tahun kemudian adik-adik dari yang nikah tadi bertambah besar dan ia
melahirkan seorang anak dan sekarang dalam rumah itu terdiri dari dua
keluarga. Kemudian adik wanita menyusul dinikahkan, sehingga menjadi
tiga keluarga; satu dalam keluarga senior dan keluarga junior.
Dalam
hal ini walaupun diadakan pemisahan dapur di antara tiga keluarga itu
tetapi, bahan-bahan yang dimasak tidak jarang dari satu tempat
perbekalan yang sama. Pada saat inilah rumah itu ditambah dengan dua
anjung kedua menantu mereka itu. Jadi dalam keluarga luas ini dalam
persolaan produktif dan konsumtif tidak ada pemisahan yang jelas.
Artinya segala-galanya masih dikerjakan bersama.
Prinsip-prinsip
Keturunan. Pada umumnya di daerah Kalimantan Selatan dalma hal
perwalian menurut sistem patrilinear seperti dalam hal pernikahan maka
yang menjadi wali dari seorang wanita sebagai calon mempelai adalah
ayahnya. Jika tidak ada ayahnya maka saudara laik-lakinya dan
seterusnya. Demikian pula hal asbah jika almarhum ayahnya
meninggalkan anak, maka yang berhak menjadi asbah adalah anak laki-laki,
jika tidak ada maka saudara laki-laki almarhum, jika tidak ada ayah
almarhum dan saudara laki-laki almarhum juga tidak ada maka asbahnya mamarina laki-laki dari almarhum dan seterusnya.
Tetapi
dalam hal lain seperti jual beli dan lapangan hukum perdata lainnya
berlaku sistem parental artinya kedua belah pihak mempunyai derajat yang
sama.
Sistem istilah-sitilah dalam kekerabatan.
Untuk
menuliskan istilah-istilah dalam kekerabatan ini, maka untuk mudahnya
kita fokuskan pada ‘ego’ (diri saya sendiri). Dimulai dengan hubungan
kekeluargaan ‘ego’ secara vertikal: ke atas (dari ‘ego’) abah (bapak); uma (ibu); kaye (kakek), nini (nenek), datu (bapak/ibu nenek datuk baik laki-laki maupun perempuan), sanggah (bapak/ibu dari datuk), waring (nenek dari datu). Hubungan ke bawah anak cucu (anak dari anak) buyut (anak dari cucu), intah (anak dari buyut).
Secara horizontal ini berlaku terhadap keluarga baik saudara abah (bapak)
maupun terhadap keluarga itu, keduanya mempunyai kedudukan sama
derajatnya. Dimulai dengan istilah dari hubungan saudara pihak ayah/ibu:
yakni, julak (saudara ayah/ibu yang tertua), gulu (saudara ayah/ibu yang kedua), Angah/tangah/Panangah (paman/bibi) dan yang lainnya biasanya menggunakan sebutan pakacil (paman) dan makacil (bibi). Untuk seterusnya yaitu yaitu terhadap saudara kaye/nenek sama saja panggilannya dengan kaye/nini sendiri, demikian pula untuk saudara datu, ini juga dipanggil datu.
Di samping yang disebutkan di atas masih banyak istilah-istilah keluarga seperti: minantu (suami atau istri dari anak kita), mintuha (bapak/ibu dari kedua suami istri), mintuha lambung (saudara mintuha/istri suami), sabungkut (satu turunan datu yang sama), mamarina (saudara ibu/bapak), kamanakan (anak darti saudara kita), sapupu sakali (adik laki-laki/perempuan), panjulaknya (anak yang tertua) pabungsunya (anak yang terakhir), badangsanak (saudara
seibu/sebapak). Untuk panggilan terhadap keluarga yang statusnya di
bawah, cukup dipanggil dengan nama saja. Tetapi tidak jarang ada
seseorang yang status dalam lebih tinggi memanggil seseorang anggota
keluarga yang di bawah dengan menyebut jabatan statusnya dalam keluarga.
Hal ini dilakukan untuk menunjukkan ras kasih sayangnya. Seperti:
- Panggilan kepada anaknya yakni ‘anak’
- Panggilan kepada cucunya yakni ‘cu’
- Panggilan kepada buyutnya yakni ‘yut’
Panggilan ini pun dapat dilakukan terhadap kemenakan dipanggil ‘hak’, dan juga dapat dipanggilkan terhadap seorang anak yang bukan keluarganya. Demikian juga dengan cucu dan buyut.
Maka untuk di daerah Kalimantan Selatan umumnya dalam berbicara bagi mereka yang statusnya dalam keluarga di bawah harus baulan-basampian.
Maksudnya
menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu”. Sebaliknya bagi mereka yang
statusnya dalam keluarga di atas kepada yang statusnya di bawah
menggunakan istilah ‘baku’ dan ‘baikam’ untuk daerah Pahulu dan baunda banyawa untuk daerah Martapura dan Banjar.
Sopan santun dalam pergaulan dalam kekerabatan.
Dalam
kehiudpan sehari-hari jarang sekali menyebut nama seseorang, apalagi
kalau kedudukan, apalagi kalau kedudukan keluarga itu statusnya di bawah
seperti panggilan itu kita fokuskan dari aku.
Datu,
kaye, ni (nini), bah, (abah), ma (mama), lak (julak), ngah (tangah),
cil (makacil/pakacil), anak (anak/kemenakan), cu (cucu), yut (buyut) dan sebagainya.
Dalam berbicara antara orang yang peranannya dalam keluarga di bawah dengan yang di atas maka harus baulun/basampiyan. Ini terutama dilakukan oleh orang di daerah Pahuluan. Untuk daerah Banjar pada umumnya menggunakan udan/nyawa (unda= aku; nyawa= kamu), untuk yang tua terhadap yang muda, atau sama muda. Cara halusnya digunakan panggilan sampiyan oleh yang muda dan ikam oleh yang tua.
Kalau
sama-sama berjalan antara orang tua dan yang muda statusnya, maka yang
muda statusnya, maka yang muda harus berjalan di belakang yang tua.
Waktu tidur mereka yang dibedakan adalah tempat tidurnya. Ini sama
halnya dengan keadaan makam yang dikelompokan antara yang tua dengan
yang tua dan yang muda pada yang muda, masing-masing dengan jenis yang
sama. Sering pula yang tua tempatnya di atas (balai-balai), sedangkan
yang muda di lantai.
Kalau
yang muda dalam pekerjaan baru belajar, mereka harus diberikan
pekerjaan yang mudah. Sedangkan kalau pekerjaan biasa, maka yang muda
biasanya mengerjakan yang berat-berat, sedang yang tua hanya memerintah
saja atau membantu pekerjaan yang ringan. Dalam duduk juga ada
ketentuan. Bagi laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu bagi kaum
laki-laki duduknya harus basila, dan perempuan duduknya batalimpuh.
0 komentar:
Posting Komentar