Tanaman kopi adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili rubiaceae dan genus coffea.
Tanaman kopi masuk ke Indonesia pada tahun 1696 oleh orang-orang
Belanda, akan tetapi usaha yang pertama ini gagal. Usaha ini diulangi
lagi pada tahun 1699 dan berhasil, selanjutnya dikembangkan
perkebunan-perkebunan kopi di pulau Jawa.
Perkebunan-perkebunan
kopi arabika di Jawa pada saat itu berkembang dengan pesat, karena kopi
yang dihasilkan di Jawa mempunyai mutu yang baik dan sangat digemari
oleh orang-orang Eropa. Kopi Arabika kemudian menyebar ke pulau-pulau
lain seperti Sumatera, Sulawesi, Bali dan lainnya, akan tetapi luas
perkebunan di luar pulau Jawa tidak seluas di Jawa.
Pada
akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda melakukan kebijakan
penetrasi di bidang pertanian ke kampung-kampung Gayo. Perkebunan kopi
di Aceh Tengah dibangun menjelang akhir abad ke-19 sebagai bagian dari
proyek perkebunan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda d
Sumatera Timur. Setidaknya sejak 1910 orang Gayo di Aceh Tengah mulai
mengenal komoditas perkebunan sawit dan karet yang juga diperkenalkan
Belanda di Sumatera Timur, Aceh Utara dan Aceh Barat.
Kopi yang ada di Dataran Tinggi Gayo yang sering disebut sebagai hidup dan matinya urang Gayo
merupakan satu aspek yang didalamnya banyak tersimpan nilai-nilai
sejarah, ilmu pengetahuan, social budaya, bahkan tersirat nilai harga
diri urang Gayo. Semua nilai-nilai yang tersimpan dalam kopi banyak yang
telah diketahui secara umum namun masih banyak juga yang masih
tersirat. Penggalian nilai-nilai yang ada dalam kopi akhir-akhir ini
telah mulai dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai pihak.
Dalam
buku C.Snouck Hurgronje, Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya, dituliskan,
sangat mengherankan di tanah Gayo dimana-mana kita jumpai batang kopi.
Darimana asalnya kopi di Gayo seorangpun tidak ada yang tahu. Dan
sepanjang ingatan mereka, tidak seorangpun yang mengaku pernah menanam
kopi. Dahulu urang Gayo menganggap tanaman ini adalah tanaman liar.
Orang mengambil batang atau cabangnya hanya untuk pagar kebun semata.
Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung. Selanjutnya menurut
dugaan, burung yang memakan buah kopi itulah yang menyebarkan bibit
tanaman kopi ini (Hurgronje, 1996:254).
Ada
kutipan yang sangat menarik dari buku C.Snouck Hurgronje, dalam buku
tersebut dinyatakan bahwa urang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu
bias diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang
daunnya untuk dijadikan teh. Hanya pada akhir-akhir ini, sebagian orang
sudah mengetahui bahwa buah kopi yang sudah dikupas dan dikeringkan bisa
dikonsumsi dan juga menghasilkan uang.
Kasim
Aman Armia, seorang warga Kampung Belang Gele, menyatakan bahwa kopi di
Gayo sudah ada sebelum penjajah Belanda tiba di Dataran Tinggi Gayo.
Biji kopi yang merupakan cikal bakal tanaman kopi di Gayo dibawa oleh
seorang warga Kampung Daling salah satu kampung yang ada di Kecamatan
Bebesen yang biasa dipanggil dengan Aman Kawa. Dia membawa kopi dari
Mekah saat menunaikan ibadah haji, kemudian mulai menanamnya.
Pada
tahun 1930, Belanda membuka perkebunan kopi Belang Gele setelah
melakukan pemetaan dan menyimpulkan lokasi paling ideal untuk tanaman
kopi adalah di Belang Gele (di Kabupaten Aceh Tengah sekarang) dan
Bargendal (di Kabupaten Bener Meriah).
Kehadiran
kekuasaan Belanda di Tanoh Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula
dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu
wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeelingNordkus Atjeh dengan
Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah
memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya
kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 – 1.700 m di atas
permukaan laut). Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh
dan lada telah lebih dahulu diperkenalkan. Sayangnya kedua tanaman itu
kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial.
Banyak
bukti-bukti peninggalan sejarah yang menegaskan bahwa Belanda pernah
mengembangkan kopi di Dataran Tinggi Gayo, bukti peninggalan sejarah ini
berupa lahan perkebunan dan para pekerja perkebunan yang dibawa dari
Pulau Jawa yang sampai saat ini masih tetap tinggal di Dataran Tinggi
Gayo dan sudah berasimilasi dengan suku bangsa Gayo.
Salah
satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini
adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat
Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten
Aceh Tengah, Provinsi Aceh (Susilowati, 2007).
Setelah
masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar
tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola ole PNP
I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Alas Helau dan terakhir
lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kabupaten
Aceh Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar