Kamis, 11 Desember 2014

Masjid Raya Baiturrahman: Sebuah Kisah Saksi Sejarah Aceh

Masjid-Raya-Baiturrahman-banda-aceh-640x480_1373432638.jpg
Masjid Raya Baiturrahman terletak di jantung Kota Banda Aceh, tepatnya di Desa Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Dari menaranya dapat dilihat sepintas Kota Banda Aceh. Masjid inilah yang menjadi salah satu titik awal perkembangan sejarah islam di Aceh. Masjid ini pula lah yang menjadi saksi perjalanan Aceh mulai dari masa kesultanan, penjajahan, hingga pemerintahan Indonesia.
Terdapat dua kisah mengenai berdirinya masjid yang menjadi simbol dan kebanggaan masyarakat Aceh ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1292 oleh Sultan Alaudin Mahmud Syah I. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa masjid ini didirikan pada abad ke-17 di masa kejayaan Sultan Iskandar Muda. Dari kedua pendapat tersebut, dikatakan bahwa keaadan masjid pada saat itu masih sangat sederhana dengan konstruksi kayu dan atap rumbia.
Pada tahun 1873, Masjid Raya Baiturrahman pernah diduduki dan dibakar oleh Belanda dalam penyerbuan yang menewaskan banyak orang dan juga salah satu perwira tinggi Belanda, yakni Jenderal Kohler. Kemudian atas nasehat Snouck Horgronje, pada tanggal 9 Oktober 1879 Belanda memutuskan untuk kembali membangun masjid ini. Peletak batu pertama adalah Tengku Malikul Adil dan disaksikan oleh pembesar Belanda. Sejak saat inilah konstruksi masjid mulai berubah mengikuti perkembangan arsitektur Eropa dan  islam pada masa itu.
Seiring berjalannya waktu, perubahan dan perluasan semakin bertambah. Bermula dari satu kubah kemudian bertambah menjadi tiga kubah pada tahun 1935. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, yakni tahun 1957, dua kubah baru di bagian belakang kembali dibuat sehingga menjadi lima kubah. Lima kubah ini dianggap sebagai gambaran Pancasila. Kemudian pada kurun waktu 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara dengan daya tampung sekitar 13.000 jemaah. Semua pemugaran yang dilakukan tetap memperhatikan dan mempertahankan arsitektur lama pada masa Belanda, salah satunya kubah pertamanya.
Masjid Raya Baiturrahman memiliki denah persegi dengan pintu berupa relung-relung tanpa daun pintu.  Dihiasi menara-menara di bagian atasnya. Kaligrafi menghiasi dinding ruangan, sedangkan pada jendela dan pintu terdapat hiasan persegi, belah ketupat, sulur, dan bunga. Tiang-tiang dalam ruang utama juga dihiasi lengkungan, daun, dan garis-garis. Adapun di dalam ruangan utama terdapat mihrab dan mimbar dengan hiasan daun-daunan, bunga dan sulur-sulur. Menara sangat tinggi terletak di depan halaman, dilengkapi tangga beton berputar, tempat dimana pengunjung atau jemaah melihat Kota Banda Aceh dari ketinggian.
Masjid Raya Baiturrahman juga memiliki kedudukan penting pada saat konflik memanas di Aceh. Diantaranya adalah sebagai tempat masyarakat memanjatkan doa untuk perdamaian, tempat singgah pejabat pusat saat kondisi tak aman, dan sebagai saksi peristiwa tsunami yang memilukan. Begitupula pada saat delegesai Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki-Finlandia, masyarakat secara khusus menggelar doa bersama di masjid ini. Oleh karenanya, keberadaan dan fungsi masjid yang menjadi salah satu masjid terindah di Asia Tenggara ini harus tetap dijaga dan  dilangsungkan.

0 komentar:

Posting Komentar