Masjid
Tua Ternate terletak di Desa Soasio, Kecamatan Ternate, Kabupaten
Maluku Utara, Provinsi Maluku. Daerah di sekitar masjid terdapat bukit,
gunung, laut, dan pantai pasir putih. Dibelakang kelihatan gunung
Gamalama yang masih mengeluarkan asap, sedangkan di depannya laut.
Masjid Tua Ternate merupakan bagian keraton Kesultanan Ternate dan
letaknya kurang lebih 150 m dari pantai. Arah hadapnya ke timur dengan
bentuk arsitektur merupakan gabungan antara Romawi dan Persia.
Deskripsi Bangunan
Dalam
ruangan terdapat serambi tiang, mihrab dan mimbar yang terbuat dari
kayu berukir. Tiang yang tedapat di ruangan kurang lebih 313 batang,
terdiri dari empat tiang soko guru, 12 tiang penyangga dan tiang
pembantu. Pada bagian depan terdapat serambi dengan dinding di bagian
utara dan selatan.
Di
kiri dan kanan serambi terdapat bagian yang menempel dengan dinding
serambi dan berfungsi sebagai tempat wudhu. Di sisi selatan, samping
tempat wudhu terdapat bak air berbentuk empat persegi panjang. Bak air
diberi dinding setengah bagian dan atap yang disangga tiang. Tiang
berdiri di atas dinding. Pintu masuk di selatan dengan menggunakan
tangga dari beton. Atap serambi tidak bersatu dengan ruang utama, tetapi
menyambung pada dinding timur ruang utama tersebut. Bangunan induk
mempunyai atap tumpang bersusun lima. Terbuat dari rumbia. Pada tingkat
teratas yang berbentuk kerucut pada ke empat sisinya terdapat lubang
angin empat persegi panjang dengan besi tegak lurus dan di atasnya
diberi penutup (atap). Pada puncak atap terdapat tiang yang disebut
tiang alif.
Sejarah
Masjid
Tua Ternate ini diperkirakan dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin.
Namun ada juga yang beranggapan pendirian Masjid Sultan baru dilakukan
awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi
Barakati. Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan
sebetulnya Masjid Tua Ternate didirikan. Akan tetapi, melihat kenyataan
sejarah, sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan
Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang
keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun
(1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Sultan Baabullah
(1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah
satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate Sekitar setengah abad sebelum
berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa Masjid
Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan
yang cukup kuat.
Sebagaimana
Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid TuaTernate dibangun di
dekat Kedaton Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah
tenggara kedaton. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran
penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi
atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu
berpusat di masjid ini. Masjid Tua Ternate dibangun dengan komposisi
bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran
kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk
segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang
dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini nampaknya
merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti
halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak
berbentuk kubah, melainkan limasan.
Tradisi
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Tua Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea,
yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa. Usai
melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke kedaton dengan ditandu
kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di kedaton sultan
bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan
khusus, tepatnya di atas makam keramat leluhur. Usai berdoa, sultan dan
permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan
menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja,
pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat
masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
Masjid
ini berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya dan memiliki
aturan-aturan adat yang tegas, seperti larangan memakai sarung atau
wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai
penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah
di masjid ini. Larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian
sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut
kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan
celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua
kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah
mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya. Sedangkan
larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan
untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar
dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan haid
dan kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam
menjalankan ibadah di masjid ini.
0 komentar:
Posting Komentar