Si Disaster
demikian aku menjulukinya. Anjing cokelat muda berbadan kekar dengan
kaki-kaki kuat dan napas memburu. Ia rajin bertandang ke rumah, bermain
dengan anjing kami. Biasanya, sebelum mereka berkejaran dan bergulingan,
Disaster lebih dulu kami
ajak masuk ke rumah dan diberi makan. Pendatang baru ini melahap semua
makanan yang disodorkan ke hadapannya – termasuk sayuran, buah, bahkan
roti tawar.
Setiap
hari selama sekitar dua minggu ia rajin mampir pada sore hari dengan
ritual yang sama – makan dan bermain. Kami tak tahu namanya, siapa
pemiliknya, di mana ia tinggal, namun kami senang karena anjing kami
yang biasa sendirian jadi punya teman bermain.
Lalu, Disaster menghilang
beberapa hari. Suatu senja ia datang kembali. Begitu datang ia langsung
bercengkrama dengan sahabatnya di teras rumah. Ada dorongan untuk
menghidangkan makanan buatnya, tetapi aku enggan melakukannya. Masih
beberapa kali Disaster bertandang
ke rumah setelah itu, namun setiap kali aku tak mau membukakan pintu
rumah, hanya membiarkan mereka bermain di teras. Pikirku, besok-besok ia
bakal datang lagi, nanti saja memberinya makan.
Belakangan ini Disaster kembali tak tampak, sampai semalam aku mendengar berita tentangnya dari salah seorang tetangga. Suatu pagi, ketika Disaster - yang
ternyata bernama asli Bento, tengah mengejar kucing di jalan dalam
perumahan, sebuah mobil melintas dengan kencang, menabrak, dan
menewaskan Bento seketika. Sirna sudah kesempatan memberinya makan.
Maafkan aku, Bento…
Tak
jarang kita menunda untuk melakukan sesuatu yang baik bagi sesama
dengan berbagai alasan, padahal kita tidak tahu berapa lama lagi waktu
yang tersisa. Mengapa tidak melakukannya saat ini?
0 komentar:
Posting Komentar