Keterkaitan
antara budaya Betawi dan Melayu terlihat dari bahasa yang digunakan
masyarakat Betawi. Pada dasarnya mereka menggunakan bahasa Melayu karena
sebagaian besar orang-orang Betawi adalah pendatang terutama dari
Negara serumpun, namun di Betawi pun tidak hanya orang-orang melayu yang
hadir. Melalui jalur perdagangan, kemudian bahasa-bahasa lain
berkembang di Betawi dan perkembangan tersebut diserap oleh orang-orang
melayu. Misalnya, bahasa Sunda, Jawa, Belanda, Portugis, dan Cina.
Selain
bahasa, secara arsitektur rumah betawi sebenarnya dipengaruhi oleh
arsitektur rumah melayu. Pada awalnya rumah panggung adalah rumah orang
melayu betawi sama halnya rumah orang melayu asli. Ciri khasnya adalah,
di atap rumah tersebut terdapat lembayung. Ciri khas ini masih terlihat
pada rumah di daerah Bekasi tepatnya di Desa Kedokan yang diduga
didirikan oleh Pangeran Sake pada akhir abad ke-17. Namun, pada
perkembangannya Rumah kebaya lebih disukai karena proses pembuatannya
yang lebih sederhana. Lantai pada rumah kebaya dibuat lebih tinggi, hal
ini untuk mempertahankan unsur rumah panggung melayu.
Dari
paparan yang cukup panjang di atas, dapat ditangkap beberapa hal yang
menjadi kesamaan akibat multi kultur yang dialami Betawi. Budaya yang
dihasilkan tersebut saling memegaruhi banyak segi, yaitu dari segi
bahasa, arsitektur, dan lagu.
Betawi
adalah suku yang multi-kultural. Termasuk budaya islam yang amat kuat
melandaskan kebudayaan melayu dan betawi. Diketahui pula bahwa islam
mengangut sistem kekerabatannya adalah bilineal atau menarik garis
keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Saat melangsungkan adat
pernikahan sekalipun tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, akan
menetap secara patriarki atau matriarki. Meskipun secara umum
masyarakat Betawi menyepakati sistem yang patriarki. Sistem kekerabatan
patriarki yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui garis keturunan
laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap individu dalam
masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan
kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan
kekerabatannya.
Perlu
diakui, asumsi masyarakat tentang Suku Betawi memiliki penilaian yang
menganggap bahwa masyarakat Betawi jarang mencapai keberhasilan, baik
dalam segi ekonomi, pendidikan dan teknologi. Padahal, bila kita tinjau
lebih jauh, tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Misalnya saja
Muhammad Husni Thamrin, Benyamin S, bahkan hingga Gubernur Jakarta Fauzi
Bowo.
Jakarta
sebagai daerah yang menjadi pusat berkembangnya suku Betawi memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan antara lain, jiwa sosial mereka
tergolong sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu
berlebih dan cenderung tendensius atau fanatik. Sebenarnya sifat
tendensius dan fanatik yang timbul tidak lebih karena akibat gesekan
kebutuhan masyarakat modern yang cenderung kompetitif.
Di
luar daya saing/kompetisi itu, Orang Betawi juga sangat menjaga nilai -
nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang
beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai
pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta maupun dari etnis
lain. Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi.
terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang masih memainkan lakon atau
kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong,
ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Moderenisasi
di tanah Betawi sudah tidak bisa dielakkan lagi sebagai perkembangan
zaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat
Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi. Namun, tetap ada
optimisme dari masyarakat Betawi bahwa masyarakat generasi mendatang
akan mampu menopang modernisasi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar