SUKU BIAK, PAPUA
Suku Biak
merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal
di kabupaten Biak Numfor. Dalam kesehariannya, suku Biak menggunakan
Bahasa Indonesia dengan banyak dialek yang tersebar di 19 wilayah.
Adapun dialek yang digunakan, yaitu Ariom, Bo’o, Dwar, Fairi, Jenures,
Korim, Mandusir, Mofu, Opif, Padoa, Penasifu, Samberi, Sampori (Mokmer),
Sor, Sorendidori, Sundei, Wari, Wadibu, Sorido, Bosnik, Korido, Warsa,
Wardo, Kamer, Mapia, Mios Num, Rumberpon, Monoarfu, dan Vogelkop.
Namun,
secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka
untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di Kepulauan Biak-Numfor
sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di daerah-daerah migrasi atau
perantauan terdapat tiga dialek.
Nama
Biak berasal dari kata v`iak. Mulanya merupakan suatu kata yang
dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah
pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian
orang-orang yang tinggal di dalam hutan`,`orang-orang yang tidak pandai
kelautan`, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak
pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain.
Nama
tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang
mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama
tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk
tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi
untuk penduduk dan daerah tersebut. Lalu huruf “V” dibaca “B”, sehingga
menjadi Biak.
Pendapat
lain berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang
menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen
Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat
meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di
suatu tempat yang letaknya jauh, sehingga Pulau Warmambo hilang dari
pandangan mata.
Mereka pun berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo, hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai.
Mereka pun berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo, hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai.
Adapun
sejarah suku Biak menurut mite, moyang orang Biak berasal dari satu
daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang
pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada
beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah satu versi
mite itu menceriterakan, bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri
dari sepasang suami istri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah
perahu.
Ketika
air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi
nama oleh kedua pasang suami istri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat
di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem
sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama anak-anaknya
berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka
berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.
Daerah
penyebaran suku Biak saat ini sangatlah luas, meliputi pulau Biak,
Supiori, Numfor, Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Ayau, Mapia,
Doreri, Manokwari, Ransiki, Oransbari, Nuni, Pantai Utara kepla burung
hingga ke Sorong, dan pulau – pulau Raja Ampat.
Orang Biak sejak dulu menyembah dewa persatuan dan pujaan mereka yaitu ’Manseren Koreri’
yang disebut ’manarmakeri’. Manamakeri artinya suatu nama dimana
panggilan penghinaan untuk orang tua yang berkudis, kadas, borok, dan
kotor yang menyebabkan banyak orang jijik kepadanya. Nama asli
Manamakeri ialah yawi nusyado. Manamakeri selalu membuat tanda-tanda
ajaib yaitu dapat menggantikan kulitnya yang berkudis, kadas, dan borok
itu menjadi makanan dan harta kekayaan yang berlimpah ruah, ia dapat
dipuja sebagai juru selamat.
Secara
kekerabatan, Suku Biak memiliki kelompok kekerabatan berdasarkan marga
atau disebut keret (famili). Sistem kekerabatannya luas berdasarkan
pertalian darah. Berlaku adat menetap (virilokal).
Adapun
pengetahuan yang dimiliki Suku Biak, yaitu mengetahui jenis tumbuhan
yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan
sakit penyakit atau luka bakar, luka sayatan, maupun dapat digunakan
untuk membunuh ikan, dalam jumlah sedikit. Jenis tumbuhan yang digunakan
untuk membunuh ikan seperti Akar Tuba.
Mata pencaharian suku Biak adalah nelayan
(melaut) dan bertani (meramu). Mereka menangkap ikan dengan
menggunakan jaring inanai dan arsam untuk menangkap ikan terbang dan
juga ikan hiu. Hal ini dilakukan dengan menggunakan perahu yang disebut
dengan waipapa. Suku Biak juga meramu atau berburu binatang hutan
sebagai makanannya seperti berburu babi, kuskus, tikus tanah, dan ular
pohon. Dapat pula mengambil jenis sayur-sayuran yang ada di hutan
sebagai makanannya.
Adapun
kesenian yang dimiliki suku Biak salah satunya adalah Tarian Yospan.
Tarian ini merupakan tarian rakyat yang biasa dilakukan dalam
kegiatan-kegiatan acara adat maupun peringatan hari-hari besar. Dan
berkelompok dan memiliki irama dan ritme dilakukan secara riang, sangat
unik dan menarik.
Selain
tarian, suku Biak sering kali mengadaka upacara adat. Beberapa upacara
tradisional suku Biak antara lain Upacara Gunting Rambut/cukur (Wor
Kapapnik), Upacara Memberi atau mengenakan Pakaian (Wor Famarmar),
Upacara Perkawinan (Wor Yakyaker Farbakbuk), dan lain-lain. Seluruh
upacara diiringi dengan lagu dan tari bahkan merupakan sumbangan atau
pendewaan kepada roh-roh para leluhur.
0 komentar:
Posting Komentar