Di
Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Enrekang, bermukimlah sebuah
suku yang mewarnai keragaman suku di Indonesia yang bernama suku Duri.
Permukiman
suku Duri ini berbatasan dengan Tana Toraja. Permukiman orang Duri
berada di kecamatan Baraka, Anggeraja dan Alla, yang terdiri dari 17
desa. Hari ini daerah seperti ke Pare-Pare, Toraja, Makassar, hingga ke
provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan ke pulau-pulau lain
hingga ke Malaysia, menjadi tempat orang-orang suku Duri bermigrasi.
Kekeluargaan
dan gotong royong yang tinggi menjadi keseharian sifat orang Duri.
Dahulu, mereka mengenal adanya status sosial dari kaum bangsawan, rakyat
biasa dan budak. Hari ini, segala bentuk kasta sosial itu sudah mereka
hapuskan. Status sosial yang dianut oleh mereka kini berdasarkan
pendidikan dan kekayaan yang dimiliki. Kebangsawanan sudah tidak berlaku
lagi untuk mereka
Suku
Enrekang dan suku Maroangin (Marowangin) merupakan koalisi dari suku
Duri yang tergabung dalam satu kesatuan yang disebut sebagai suku
Massenrempulu. Meskipun secara ras dan bahasa suku Duri cenderung dekat
dengan suku Toraja. Bahasa Duri mirip dengan bahasa Toraja, oleh karena
itu suku Duri sering dianggap sebagai bagian dari suku Toraja. Meskipun
memiliki kekerabata dekat dengan Toraja, suku Duri banyak terpengaruh
adat istiadat suku Bugis. Sehingga kadang-kadang juga orang Duri juga
dianggap sebagai sub-suku dari suku Bugis.
Islam
menjadi agama bagi sebagian besar orang suku Duri. Alu’ Tojolo menjadi
agama kepercayaan tradisional mereka sebelum Islam masuk ke suku Duri.
Agama kepercayaan tradisional ini mirip dengan agama kepercayaan
tradisional suku Toraja. Meskipun Islam telah mendarah daging bagi orang
suku Duri, namun sebagian kecil orang Duri masih ada yang
mempertahankan agama kepercayaan tradisional. Misalnya di Baraka,
pengikut agama kepercayaan Alu' Tojolo ini mengadakan pertemuan secara
teratur 1-2 kali dalam sebulan. Masyarakat suku Duri juga tetap
mempertahankan dan memelihara adat-istiadat sesuai dengan ajaran nenek
moyang mereka.
Petani
menjadi mata pencarian sebagaian besar masyarakat suku Duri. Beberapa
di antara mereka menanam tanaman keras dan memelihara hewan ternak.
Sebagian kecil lagi membuat barang kerajinan.
Adapun
tanaman pertanian suku Duri, terdiri dari padi, jagung, ubi, cabai, dan
bawang merah. Selain itu, ada pula yang memproduksi keju yang diolah
secara tradisional yang dikenal dengan nama dangke. Keju tersebut diolah
dari susu sapi dan kerbau ditambah sari buah atau daun pepaya.
Dari
uraian di atas, terlihat bahwa suku Duri memiliki hasil pertanian dan
peternakan yang cukup beragam. Namun dampak secara ekonomi belum begitu
signifikan. Hal tersebut karena infrastruktur berupa jalan yang laik
belum mereka dapatkan. Jalan tersebut untuk memperlancar distribusi
hasil tani yang akan dijual.
Hari
ini tercatat sekitar 60% desa-desa belum memiliki sarana jalan yang
memadai. Hal ini mengakibatkan distribusi hasil-hasil bumi mereka
menjadi mahal dan memakan waktu yang lama. Diperlukan penyuluhan
pertanian untuk mengolah tanah yang kurang subur, belum lagi bantuan
modal, dan cara pendistribusian barang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Duri.
Hasil
dangke (keju) semestinya dapat dikembangkan dengan pengolahan secara
industri dengan menggunakan kemasan yang lebih menarik. Anak-anak Duri
juga mebutuhkan perhatian dalam hal pemeroleh gizi dan kesehatannya.
Selain itu, penyediaan bahan-bahan bacaan dalam bahasa Duri terbilang
penting melihat minat baca yang tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar