Kamis, 11 Desember 2014

Suku Kluet, Aceh


Kerajaan Laut Bangko sangat erat kaitannya dengan kajian sejarah Kluet (Bukhari RA, dkk., 2008:11) seperti dilansir dmilano.wordpress.com. Di Taman Nasional Gunung Leuseur, dahulu Lau Bangko yang dulunya merupakan sebuah danau mini. Danau ini terletak di bagian barat, yang berbatasan dengan Kecamatan Bakongan dan Kecamatan Kluet Timur, saat ini.
Kerajaan Laut Bangko merupakan kerajaan yang megah pada zaman dahulu kala. Raja yang terakhir yang sempat memimpin kerajaan tersebut, menurut Bukhari, dkk (2008:12) bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Namun akhirnya kerajaan ini tenggelam saat air bah melanda.
Para penduduk Kerajaan Laut Bangko kemudian mencari tempat tinggal baru. Mereka menyebar ke Tanah Batak, dan sebagian ke Singkil. Namun, sebagian ada yang masih tetap pada lokasi semula dengan mencari dataran tinggi yang baru. Dari sini kemudian timbul pendapat terjadinya kemiripan bahasa antara bahasa Kluwat dengan bahasa Batak, bahasa Alas, bahasa Karo, dan bahasa Singkil.
Sejumlah folklore menyebutkan bahwa saat terjadi perang di Aceh, ada sebuah komunitas masyarakat kala itu yang terpecah-pecah akibat menyelamatkan diri. Mereka mengungsi ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh.  Ada pula yang melarikan diri ke pedalaman-pedalaman lainnya dalam wilayah yang sama. Yang berada di wilayah Chik Kilat Fajar kemudian membuka komunitas sendiri, yaitu di kaki gunung Kalambaloh. Sedangkan di wilayah lainnya, juga membuat komunitas sendiri pula sehingga masih terdapat kemiripan bahasa antara yang berada di wilayah selatan Aceh (Chik Kilat Fajar) dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil, dan Tanoh Alas, termasuk Sumatera Utara.
Beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan Suku Kluet bermukim. Misalnya, kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Daerah Kluet tersebut dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Permukiman Suku Kluet ini berjarak 20 km dari jalan raya, 50 km dari Ibukota Kabupaten Aceh Selatan (Tapak Tuan) atau 500 km dari Ibu Kota Provinsi Aceh (Banda Aceh). Artinya, Suku Kluet memang bermukim di pedalaman Aceh Selatan.
Islam menjadi agama yang dianut Suku Kluet. Bahasa Kluet menjadi bahasa ibu dari suku ini, bahasa lainnya, Suku Kluet menggunakan Bahasa Aneuk Jamee (melayu) dan Bahasa Aceh sebagai bahasa kedua dan ketiga. Dialek Paya Dapur, Manggamat, dan Krueng Kluet menjadi jenis dialek dari Suku Kluet.
Sebagian besar orang Kluet bermatapencaharian sebagai petani, baik di ladang maupun di kebun. Namun juga banyak yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Telah di sebutkan di atas bahwa terdapat empat kecamatan yang ditinggali Suku Kluet, namun terdapat satu lagi kecamatan yang masuk ke dala daerah permukiman Suku Kluet, yaitu Kecamatan Pasieraja yang ibukotanya adalah Terbangan. Pada tahun 1996 kecamatan ini memisahkan diri dari kecamatan induknya kluet utara agar daerah ini memiliki otonomi sendiri. Hal tersebut juga dikarenakan bahwa sebagian besar masyarakat kecamatan Pasieraja bukan bagian dari suku Kluet. Hal tersebut terlihat dari sangat sedikitnya atau bahkan tidak ada penduduk di daerah ini yang menggunakan Bahasa Kluet Sebagai bahasa sehari-harinya.
Dalam perkembangannya, gejolak pemekaran di Aceh, tepatnya sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun pecah menjadi lima, yaitu Kluet Utara (Kotafajar), Kluet Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet Timur (Paya Dapur), dan Kluet Barat (Pasieraja).
Adat dan budaya Kluet terbilang masih lestari. Dalam kearifan masyarakat, budaya tersebut terus mengakar dan berkembang. Sehingga adat dan budaya Kluet terus terwarisi secara kontinu. Prosesi perkawinan, sunat rasul, kematian, pengobatan, dan sebagainya terus dikekalkan oleh masyarakat budayanya. Bahkan, karena mata pencaharian masyarakat Kluet secara umum adalah bertani, adat turun ke sawah pun dimiliki masyarakat di sana (suku kluwat) yang mirip pula seperti adat meublang dalam kearifan Aceh secara luas.
Selain adat perkawinan, sunat rasul, kematian, kelahiran, dan turun ke sawah, Suku Kluet juga mengenal syair, yaitu, syair mebobo dan syair mekato.
Syair mebobo biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Sedangkan syair mekato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.
Peribahasa juga mewarnai khazanan sastra lisan yang terdapat di Suku Kluet. Peribahasa dalam bahasa Kluwat disampaikan dengan dialek masing-masing daerahnya.

0 komentar:

Posting Komentar