TEMPAT TINGGAL MANUSIA PADA TAHAP AWAL MASA PRASEJARAH
Mengingat akan banyaknya leang (gua, bahasa setempat) maka desa di bawah bukit kapur, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros itu dinamakan Leang-leang. Kecuali nama desa Leang-leang juga untuk menyebut gua-gua yang terdapat di desa itu.
Diantaranya
terbukti menyimpan data kehidupan dan aktivitas manusia pada masa
prasejarah, maka cagar budaya ini pun dibuat taman yang diberi nama Taman Prasejarah Leang-leang. Lokasinya cukup mudah dikunjungi, dari Ujung Pandang ± 40 km kea rah timur laut.
Situasi situs
Menuju Leang-leang kita
menyusuri dataran rendah dengan kehidupan pedesaannya. Tanahnya memang
kurung subur, tetapi begitu banyak ternak lembu berkeliaran. Di sebelah
kiri dan kanan tampak bermunculan bukit-bukit kapur atau karang dengan
lereng terjal yang pada dindingnya banyak terdapat goa yang di depannya
terdapat bongkah-bongkah batu karang dengan sisa-sisa kikisan air, kulit
kerang bertebaran atau melekat pada dinding bukit, cekungan-cekungan
dan lain-lain. Keadaan itu sangat nyata menunjukan bahwa dahulu daratan
itu berupa lautan atau perairan
Diantara goa-goa di sepanjang perjalanan adalah Leang Burung, Leang Bembe, Ulu Leang, Ulu Wae dan Leang-leang sendiri.
Pada situs (lahan kepurbakalaan) Leang-leang terdapat dua goa, yaitu Leang Pettae dan Petta Kere. Di depan leangleang Pettae tanahnyacukup
lapang untuk taman dan bangunan kecil cukup untuk ruang informasi dan
tempat jaga. Di depan leang Petta Kere tanahnya tidak rata, banyak pohon
dan bongkah-bongkah batu karang yang dapat ditata sebagai taman alami.
Halaman kedua leang itu berakhir pada sungai kecil yang airnya jernih
membatasi situs Leang-leang dengan lahan persawahan dan kampong di seberangnya.
Cagar Budaya
Kalau
Eropa bangga memiliki goa-goa Altamira, Lascauk, Font de Gaume dan
lain-lain, Indonesia pun kaya akan bekas tempat tinggal (peradaban)
manusia masa dini itu. Salah satu di antaranya adalah Leang-leang.
Sungguh menakjubkan bahwa kira-kira 5000 tahun yang lalu di daerah ini
telah ada masyarakat yang peradabannya cukup tinggi. Mereka hidup secara
berkelompok, di tempat-tempat yang cukuo air, dekat sumber makanan
berupa binatang buruan, ikan, kerang, siput, dan umbi-umbian. Mereka
hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan, sudah mengenal
kehidupan sesudah mati, mengenal upacara agar berhasil dalam perburuan,
berkabung bila orang yang disayangi meninggal, bahkan melukis.
Semia
itu terungkap dari penelitian goa-goa prasejarah tersebut misalnya van
Heekeren dengan kerab kernyanya yang meniliti goa Petta’E telah
menemukan sejumlah alat dari batu, kerang sisa makanan dinding berupa
cap tangan berwarna hitam dengan latar belakang merah dan seekor
babi-rusa sedang meloncat dengan panah di bagian jantungnya.
Gambar-gambar serupa itu juga terdapat pada Petta Kere.
Mengingat
pentingnya goa-goa prasejarah ini maka dilindungi oleh Pemerintah
sesuai dengan Undang Undang Benda Cagar Budaya yang berlaku. Bahkan
telah dilakukan pemugaran, penamanan serta pembangunan sarana-saranan
kemudahan bagi pengunjung, baik pengunjung umum maupun para peneliti.
Penataan situs ini disesuikan dengan fungsinya sebagai Taman Purbakala
Prasejarah. Kegiatan pemugaran dan lain-lain itu dilakukan oleh
pemerintah dari tahun 1977.
Sasana Wisata-Budaya
Sebelum
tersentuh oleh kegiatan pembangunan di bidang kebudayaan, desa
leang-leang yang memang tanahnya gersang itu begitu sepi, kecul dan
terpencil. Sejak ditemukan gambar babi rusa di leang Petta’E tahun 1950,
nama Leang-leang mulai terkenal di kalangan pakar kepurbakalaan dan para peneliti pun berdatangan.
Sejak dibangun sebagai Taman Prasejarah antara tahun 1977 wajah dan suasana desa Leang-leang mengalamiperubahan
total. Derap-langkah pemabngunan desa itu maju pesat. Ratusan bahkan
ribuan pengunjung bahkan para Menteri dan tamu-tamu oenting dari dalam
maupun luar negeri berdatangan. Taman Prasejarah yang ternyata merupakan
kombinasi yang harmonis antara sasana wisata budaya dan wisata alam itu
sangat menunjang Daerah Sulawesi Selatan sebagai salah satu dari
sepuluh Daerah Tujuan Wisata (DTW). Di samping tempatnya dapat dicapai
dengan mudah, letaknya strategis, dekat jalur yang sering dikunjungi
(pariwisata) anatar Ujung Pandang – Tana Toraja dan dekat dengan
objek-objek wisata lain dengan objek-objek wisata lain seperti
Bantimuirang, Watang Lumur, Sopeng, dan lain-lain.
Disamping itu, Leang-leang
sebagai sasana wisata, perlu kiranya kita waspada agar warisan busaya
yang sudah ribuan tahun umurnya itu dapar bertahan, maka diperlukan
sikap yang baik dan kedisiplinan para pengunjung. Kegemaran corat-coret
hendaknya kita hindari agar tidak merusak lukisan asli nenek moyang
kita, apalagi merusak dan mengotorinya.
Marilah
kita jaga dan rawat baik-baik agar khasanah budaya kita ini tetap
menjadi inspirasi dan mendorong kita untuk menuju hari esok yang lebih
gemilang tetap berjalan di atas rel sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar