Tanjung Tirto dalam Lintasan Sejarah
Perjalanan
pabrik gula di Indonesia telah berlangsung sejak penjajahan kolonial
Belanda. Perjalanan panjang ini pun secara otomatis membentuk persepsi
masyarakat terkait nilai sejarah yang melekat erat pada eksistensi
pabrik gula di Indonesia. Pada akhir abad 19, perkebunan tebu banyak
dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang kemudian lazim
dengan istilah onderneming. Mereka menjalankan usaha ganda di
Yogyakarta. Disamping menjalankan usaha tebu mereka juga mendirikan
pabrik gula di sekitar areal perkebunan tebu. Tujuan utama yang ingin
dicapai adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pabrik gula yang diusahakan pihak kolonial dipimpin oleh seorang administratur yang bertindak sebagai pengelola perusahaan. Administratuur dibantu oleh beberapa orang pengawas (ziender). Jabatan seperti administratuur dan ziender diduduki
oleh orang Belanda, sedangkan orang-orang pribumi biasanya merupakan
pegawai rendahan dan tenaga kasar. Sebagai contoh, sebuah pabrik gula di
Yogyakarta biasanya dikelola oleh administratuur dengan
bantuan 20-25 orang Belanda. Pada musim giling, jumlah orang pribumi
berkisar antara 800-1000 orang, sedangkan pada musim sepi berkisar
antara 250-300 orang. Untuk mendukung industri gula, selain
ekstensifikasi perkebunan, turut dibangun pabrik-pabrik gula di
Yogyakarta.
Tahun
1860, di Yogyakarta didirikan pabrik gula tenaga air, lalu disusul
pembangunan empat pabrik lagi, kemudian tujuh pabrik didirikan lagi dan
salah satunya menggunakan tenaga uap. Pada masa kejayaan industri gula,
di wilayah Yogyakarta berdiri 17 pabrik gula, yaitu Pabrik Gula Gondang
Lipuro (Ganjuran), Pabrik Gula Padokan, Pabrik Gula Gesikan, Pabrik Gula
Jebugan (Bantul), Pabrik Gula Barongan, Pabrik Gula Pundong, Pabrik
Gula Kedhaton Pleret, Pabrik Gula Rewulu, Pabrik Gula Demakijo, Pabrik
Gula Cebongan, Pabrik Gula Beran, Pabrik Gula Medari, Pabrik Gula
Sendangpitu, Pabrik Gula Sewu Galur, Pabrik Gula Randugunting, Pabrik
Gula Wonocatur dan Pabrik Gula Tanjung Tirto.
Pabrik Gula Tanjung Tirto didirikan oleh InternationaleCrediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” (Internatio) tahun 1874. Internatio merupakan perusahaan perbankan yang berdiri tahun 1863 dan berkedudukan di Rotterdam, Belanda. Di sekitar pabrik gula Tanjung Tirto, InternationaleCrediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” (Internatio) jugamendirikan bangunan-bangunan penunjang seperti kantor Administratuur (1923), perumahan ziender dan pegawai pribumi (1923-1924), rumah sakitpembantu (hulpziekenhuizen) (1922), dan sekolah pertukangan (Ambachtschool)
yang dibuka pada tanggal 15 Mei 1928, yang ditandai dengan penanaman
sebuah pohon beringin oleh Sultan Hamengku Buwana VIII yang disaksikn
oleh Paku Alam VII dan Residen Yogyakarta.
Penghasilan
dari gula selain menguntungkan Belanda juga memberi penghasilan bagi
Sultan Hamengku Buwana VII selaku pemilik tanah. Sultan menghapuskan
sistem pembayaran para priyayi dan abdi dalem dengan tanah dan
menjadikan tanah itu sebagai perkebunan gula dan pabrik-pabriknya. Dari
penghasilan pabrik gula tersebut abdi dalem digaji. Pada tahun 1931
terjadi kesepakatan perdagangan gula yang dikenal sebagai Charbourne Agreement.
Pada perjanjian itu Pemerintah Belanda diharuskan mengurangi jumlah
produksi. Jawa diwajibkan menurunkan produksi gulanya dari sekitar 3
juta ton menjadi tidak lebih dari 1,4 juta ton per tahun. Hal ini
berlaku juga untuk wilayah Yogyakarta. Sembilan pabrik gula tumbang dan
harus ditutup.
Pabrik-pabrik yang masih bertahan melewati masamalaisseada
delapan, yakni, PG Kedaton Pleret, PG Medari, PG Cebongan, PG Beran, PG
Gesikan, PG Gondang Lipuro, PG Padokan, dan PG Tanjung Tirto. Pada masa
pendudukan Jepang, sebagian besar pabrik gula dialihfungsikan untuk
menanam palawija dan padi demi keperluan tentara Jepang. Keadaan ini
semakin parah setelah Indonesia merdeka. Semua pabrik gula di wilayah
Yogyakarta dibumihanguskan oleh para pejuang dan TNI agar tidak
digunakan oleh tentara militer Belanda yang ingin menguasai kembali
wilayah negara kita. Walau tidak banyak tersisa, namun ada beberapa
bangunan yang masih dapat dikenali sebagai contoh bangunan SMP Negeri 1
Berbah dan Polsek Berbah.
- Bangunan SMP Negeri 1 Berbah
SMP
Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto,
Kecamatan Berbah, Sleman. Pada awalnya gedung SMP Negeri 1 Berbah
merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun tahun 1923. Pada zaman pendudukan Jepang digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu.
Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini kosong, seiring dengan adanya
Serangan Umum 1 Maret 1949, bangunan ini dikuasai pasukan TNI dan tidak
ada yang menempati sampai tahun 1951.Sejak tahun 1951 bangunan ini
digunakan untuk kegiatan sekolah. Tahun 1951 – 1952 dipergunakan sebagai
Sekolah Tenik Negeri Kalasan (STNK), pindahan dari STNK yang berada di
Kalasan. Tahun 1952 – 1969 dipergunakan sebagai STN Kalasan. Tahun 1969
sampai sekarang dipergunakan sebagai gedung SMP Negeri 1 Berbah.
- Kantor Polsek Berbah
Polisi
Sektor Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kalitirto, Berbah, Sleman.
Pada awalnya, Kantor Polsek Berbah merupakan salah satu rumah dinas ziender atau Pengawas Pabrik Gula Tanjung Tirto (Suiker Fabrieek Tandjong Tirto)
yang didirikan tahun 1924. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini
merupakan tangsi / asrama tentara Belanda dengan Pabrik Gula Tanjung
Tirto sebagai markasnya. Seiring dengan adanya Serangan Umum 1 Maret
1949, bangunan ini kosong dan tidak ada yang menempati sampai tahun
1957. Sehubungan dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pemerintah Daerah
No: I / 1957 tentang pembentukan Daerah Swantara, maka susunan
Kepolisian berubah. Kepolisian Wilayah Yogyakarta dirubah menjadi
Distrik Kepolisian Yogyakarta, sedangkan Kepolisian Kecamatan diubah
menjadi Sektor Kepolisian. Sejak tahun 1957 sampai sekarang bangunan ini
digunakan untuk kantor Polisi Sektor Berbah.
0 komentar:
Posting Komentar