Di Minangkabau terdapat dua aliran sistem dalam adat yang disebut tampan keselarasan. Yakni Laras Koto Piliang dengan aliran arsitokrat dan Laras Bodi Chaniago
dengan aliran demokrat. Kedua keselarasan ini mempunyai rumah adat yang
sedikit berbeda. Akan tetapi ciri khas dari bentuk bangunannya tetap
sama, yaitu gonjong. Perbedaannya terletak pada jalan masuk, pembagian
ruang, dan jumlah gonjong.
Koto Piliang mempunyai
pintu masuk di bagian tengah badan bangunan pada sisi yang terpanjang.
Pada pesta-pesta adat, orang yang terhormat ditempatkan di kiri tempat
masuk. Berbeda dengan Bodi Chaniago yang lebih
demokratis, pintu masuk di sisi terpendek bangunan dan kedudukan
orang-orang hampir sama. Hanya masih disediakan tempat untuk tamu-tamu
dan pemuka adat pada sisi terjauh dari tempat masuk di dekat jendela.
Keselarasan Koto Piliang mempunyai ruang tambahan yaitu anjuang tempat bermain putra-putri. Anjuang ini terletak di kedua ujung bangunan dan mempunyai gonjong tersendiri. Pada anjuang deretan tiang paling ujung hanya sebuah yang sampai ke tanah, yaitu bagian tengah dalam deretan tersebut.
Keselarasan Bodi Chaniago
mempunyai dua tipe yang berbeda pada pengakhiran kedua ujung bangunan.
Rumah tipe “Sitinjau Lauik” kedua ujung rumahnya diberi pengakhiran atap
berbentuk setengah perisai untuk penjorokan atap (over-stek). Tipe
kedua, Gajah Maharam, dengan pengakhiran ujung bangunan berupa bidang
dinding yang diawali dari ujung gonjong sampai ke tanah. Berbentuk
bidang segitiga di atas sebuah segi empat.
Rumah Adat Bodi Chaniago "Sitinjau Lauik"
Di Minangkabau, orang-orang muda duduk
di lingkaran ruang bagian tengah. Begitu juga “orang sumando” (suami
yang datang ke rumah perempuan menurut sistem matrian) sudah ditentukan
tempat duduknya dalam pesta adat. Orang sumando ini menurut adat hanya
berkuasa di dalam kamar isterinya saja, bukan rumah.
Kamar tidur terletak pada sisi belakang rumah. Kamar yang paling terhormat adalah paling jauh dari pintu masuk (Bodi Chaniago) atau ujung sebelah kiri pintu masuk (Koto Piliang).
Kamar yang terhormat ini ditempati oleh pengantin yang baru menikah dan
harus diserahkan ke pengantin yang menikah sesudahnya. Sedangkan ia
pindah ke kamar kedua dan seterusnya. Disamping itu, terdapat
kamar-kamar untuk wanita yang belum menikah dan wanita tua yang tidak
mempunyai suami lagi. Sedangkan anak laki-laki yang belum menikah tidur
di langgar yang disebut “surau” (setelah islam masuk) dan “balai pakan”
(sebelum islam masuk).
Umumnya, rumah adat ditempati oleh tiga
generasi, yakni ibu, nenek, dan anak. Jika sekiranya rumah sudah tidak
cukup untuk menampung pertimbang ekonomi rumah adat baru jarang
ditemukan. Rumah-rumah baru banyak dibuat dengan atap perisai atau
pelana.
0 komentar:
Posting Komentar