Suku
Boti dikenal sebagai suku yang religious. Hal tersebut tercermin dalam
kehidupan sehari-hari yang selalu melekat dengan nilai-nilai kepercayaa
dan keyakinan mereka yang disebut halaika. Segala aspek kehidupan telah
diatur oleh kepercayaan dan keyakinan mereka. Mulai dari kehidupan
berkelompok hingga dalam hal pekerjaan.
Misalnya
seorang suku Boti harus menghormati alam karena mereka hidup dari alam
yang telah dilindungi Uis Pah, roh penjaga bumi. Mereka berpandangan
bahwa manusia harus bersahabat dengan alam karena alamlah yang
menyediakan makanan dan minuman. Karenanya, pepohonan tidak boleh
ditebang sembarangan, makanan tidak boleh dipanen sebelum waktunya,
bahkan rambut mereka pun tidak boleh dicukur. Alat dapur mereka pun
terbuta dari bahan alam, misalnya piring, sendok, dan gelas yang mereka
pakai pun terbuat dari tempurung kelapa.
Bagi
suku Boti, alam merupakan Tuhan yang harus mereka sembah (Uis Pah)
karena alam telah memberi mereka kehidupan. Oleh sebab itu, keseimbangan
alam harus dijaga dengan baik dan ketat.
Dalam
kehidupan sosial misalnya, seorang suku Boti yang mencuri pisang tidak
“dihukum”, namun warga sekitar malah menanam pohon pisang di sekitar
rumah si pencuri. Hal tersebut dilakukan atas asumsi bahwa yang mencuri
pisan tersebut sangat membutuhkan pisang untuk makan.
Seperti
yang telah dijelaskan tadi bahwa pandangan hidup orang Boti erat
katannya dengan nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan mereka (halaika). Tradisi halaika
mengagungkan 4 nilai-nilai dasar yang biasanya disebut dengan ha’ kae
(empat larangan) sebagai acuan atau rujukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Keempat larangan ini merupakan artikulasi dari pandangan
hidup suku Boti mengenai tindak-tanduk yang harus mereka lakukan dan
bagaimana cara menjadi manusia sebaik-baiknya. Keempat larangan tersebut
antara lain:
- Kaes mu bak artinya warga halaika dilarang mencuri;
- Kais mam paisa artinya warga halaika dilarang berzinah dan merampas istri orang lain;
- Kaes teun tua artinya warga halaika dilarang meminum minuman keras/beralkohol;
- Kaes heot heo artinya warga halaika dilarang memetik bijol atau biola tradisional khas orang Timor, memetik buah kusambi (kaes hupu sapi), dan memotong bambu (kaes oet o’) bila waktu untuk memanen belum tiba.
Mengasihi sesama manusia atau dalam bahasa dawan (bahasa komunkasi suku Boti) disebut lais manekat
menjadi perwujudan dari nilai-nilai halaika dalam kehidupan mereka.
Menjaga perbuatan dan tindakan agar tidak menyinggung dan melukai hati
orang lain merupakan bentuk kasih sayang mereka. Adapun nilai-nilai yang
dianggap baik bagi kaum halaika adalah menjadi penganut halaika yang
baik. Ciri-ciri dari seorang penganut halaika yang baik, dan taat
adalah:
- Berkonde bagi pria dewasa dan menyanggul rambut bagi kaum perempuan;
- Memakai soit pada setiap ikatan rambut yang disanggul/dikonde;
- Semua pria dewasa memakai selimut berlapis. Lapisan pertama disebut mau pinaf (selendang pembungkus bagian dalam) dan lapisan kedua sebagai selendang luar (mau fafof). Pada kaum perempuan, mengenakan sarung juga dengan dua lapis: lapisan pertama adalah sarung tenunan (tais), dan lapisan kedua berupa selendang kain (lipa);
- Selalu membawa saku sirih pinang (alu’ mama untuk laki-laki; oko’ sloi untuk perempuan) ke mana pun bepergian;
- Menaati pantangan-pantangan atau larangan sebagai penganut halaika;
- Tidak menggunakan alas kaki;
- Berbicara dengan sangat sopan. Selalu menghargai orang lain sebagai yang mulia dan patut dihormati;
- Harus bisa menenun bagi setiap perempuan dewasa; dan
- Khusus perempuan, tidak diijinkan menatap muka lawan jenisnya secara langsung saat berkomunikasi.
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya bahwa semua warga boti sangat sangat setia dengan
apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh raja mereka atau
kepercayaan mereka. Oleh karena itu, mereka akan selalu menunjukkan
sikap dan tindakan yang patuh, taat, dan setia terhadap berbagai ajaran
sang raja. Apapun yang menjadi titah raja, pasti diikuti dan dijalankan
tanpa membantah.
0 komentar:
Posting Komentar