WARAS, WAREG, WASTRA, WISMA, DAN WIDYA
Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
Hal yang penting lainnya dari masyarakat Tengger adalah pandangan tentang Perilaku sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
- prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya
- prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana
- pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah
- prasetya berarti setya
- prayitna berarti waspada.
Atas
dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan
sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang
ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup
tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa
malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya
rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga
masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan
gotong-royong.
Sikap
toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul
dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain.
Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki
namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada
tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu
bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna.
Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang
tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih
calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas.
Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga
dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal
melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap
melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil
(jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap
mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja
adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek
moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur. Sikap terhadap hasil
kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi
kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan
demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk
mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil
kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang
(menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya.
Sikap
mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima
pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang
berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan
berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger. Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger. Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
- umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan
- usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk membangun rumah dan mandiri
- 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya. Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar