Wilayah komunitas Kasepuhan Adat Sirna
Resmi dikelilingi oleh lahan pertanian huma, sawah dan perkebunan.
Sekaligus membentuk tradisi utama Kasepuhan, yakni mata pencaharian yang
bertumpu pada pertanian padi huma. Menciptakan pola hubungan manusia
dengan alam dan aturan bagaimana manusia mengelola sumber daya alam.
Sekaligus menegaskan pola adaptasi manusia dan pemenuhan nafkah keluarga
yang bertumpu pada pertanian.
Secara turun-temurun dari generasi ke
generasi, warga Kasepuhan diajar dan dituntut untuk mengenal dan bergaul
akrab dengan lingkungan alamnya. Pergaulan, imajinasi, pengetahuan dan
pemahaman tentang hakekat alam ini menghasilkan kosmologi Kasepuhan.
Sebuah pandangan dunia yang memahami bahwa alam semesta adalah sebuah
sistem yang teratur dan seimbang. Ia akan tetap lestari ada, selama
elemen-elemennya masih tetap ada dan terkontrol oleh hukum-hukum
keteraturan dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.
Pola pertanian tradisional Kasepuhan
sangat erat kaitannya dengan praktik pertanian, institusi sosial dan
sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti air, tanah, udara,
cuaca, sinar matahari dan sebagainya (Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru
Mangsa). Menggantungkan aktivitas pertanian pada kepercayaan terhadap
alam bahwa mengolah lahan pertanian, sama halnya dengan memperlakukan
bumi selayaknya manusia (ibu).
Dengan kosmologi ini, masyarakat
Kasepuhan hanya menanam padi tertentu, pantang menjual beras dan
mematuhi perintah untuk berpindah tempat menurut wangsit karuhun (leluhur, nenek moyang) yang diperoleh melalui Abah dan penerusnya. Jika tradisi ini dilanggar, maka akan mendapat kabendon (hukuman adat).
Bertani cukup setahun sekali untuk
menghormati Ibu Bumi. Bumi juga makhluk hidup, sehingga tidak baik jika
dipaksa melahirkan dua kali dalam setahun. Dalam pengalaman Kasepuhan,
menanam padi yang dipacu untuk intensifikasi memang bisa menghasilkan
panen dua kali setahun.
Tapi padi yang dihasilkan justru kurus
dan tidak ada sisa yang bisa disimpan, malah paceklik. Secara logika,
panen dua kali berarti membutuhkan dua buah leuit untuk
menyimpan hasil panen. Tapi kenyataannya justru kosong. Tidak ada padi
yang bisa disimpan. Karena habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan padi cepat membusuk.
Warga Kasepuhan mengenal sekitar 50
jenis padi. Dengan pola tanam-panen sekali dalam setahun, padi yang
dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik, gemuk. Ada hasil panen
yang bisa disimpan, sekaligus menjaga ketahan pangan. Padi yang disimpan
bisa bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.
Bagi masyarakat Kasepuhan, menanam padi
adalah bagian dari menjaga keselarasan dengan alam, menjaga keteraturan
kosmik. Pandangan ini terangkum dalam “Beuteung seubeuh, baju weuteuh, imah pageuh, pamajikan reuneuh”
(perut terisi, baju pantas, rumah kokoh, kesinambungan keturunan). Yang
bermakna bahwa hasil tani dari menggarap tanah tidak perlu menunjukkan
produktivitas tinggi yang menyebabkan lahan rusak. Namun yang penting,
hasil tani dapat memenuhi semua kebutuhan hidup, bahkan membuat hidup
menjadi tentram dengan masih bisa menghidupi keturunan dan terpenuhinya
bahan makan.
Secara sosial, aktivitas masyarakat Kasepuhan berdasarkan pada kosmologi pancer pangawinan, yakni berlandaskan pada Sara (Agama), Nagara (Pemerintah) dan Mokaha (Kasepuhan). Dengan prinsip “Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea”. Keputusan Kasepuhan harus diambil mengacu pada hukum, memberi manfaat kepada negara dan bermufakat dengan orang banyak.
0 komentar:
Posting Komentar