Kamis, 11 Desember 2014

Kesatuan Adat Kasepuhan: Melestarikan Tradisi Lestari

wayang_1398672211.jpg
Wilayah komunitas Kasepuhan Adat Sirna Resmi dikelilingi oleh lahan pertanian huma, sawah dan perkebunan. Sekaligus membentuk tradisi utama Kasepuhan, yakni mata pencaharian yang bertumpu pada pertanian padi huma. Menciptakan pola hubungan manusia dengan alam dan aturan bagaimana manusia mengelola sumber daya alam. Sekaligus menegaskan pola adaptasi manusia dan pemenuhan nafkah keluarga yang bertumpu pada pertanian.
Secara turun-temurun dari generasi ke generasi, warga Kasepuhan diajar dan dituntut untuk mengenal dan bergaul akrab dengan lingkungan alamnya. Pergaulan, imajinasi, pengetahuan dan pemahaman tentang hakekat alam ini menghasilkan kosmologi Kasepuhan. Sebuah pandangan dunia yang memahami bahwa alam semesta adalah sebuah sistem yang teratur dan seimbang. Ia akan tetap lestari ada, selama elemen-elemennya masih tetap ada dan terkontrol oleh hukum-hukum keteraturan dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.
Pola pertanian tradisional Kasepuhan sangat erat kaitannya dengan praktik pertanian, institusi sosial dan sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti air, tanah, udara, cuaca, sinar matahari dan sebagainya (Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa). Menggantungkan aktivitas pertanian pada kepercayaan terhadap alam bahwa mengolah lahan pertanian, sama halnya dengan memperlakukan bumi selayaknya manusia (ibu).
Dengan kosmologi ini, masyarakat Kasepuhan hanya menanam padi tertentu, pantang menjual beras dan mematuhi perintah untuk berpindah tempat menurut wangsit karuhun (leluhur, nenek moyang) yang diperoleh melalui Abah dan penerusnya. Jika tradisi ini dilanggar, maka akan mendapat kabendon (hukuman adat).
Bertani cukup setahun sekali untuk menghormati Ibu Bumi. Bumi juga makhluk hidup, sehingga tidak baik jika dipaksa melahirkan dua kali dalam setahun. Dalam pengalaman Kasepuhan, menanam padi yang dipacu untuk intensifikasi memang bisa menghasilkan panen dua kali setahun.
Tapi padi yang dihasilkan justru kurus dan tidak ada sisa yang bisa disimpan, malah paceklik. Secara logika, panen dua kali berarti membutuhkan dua buah leuit untuk menyimpan hasil panen. Tapi kenyataannya justru kosong. Tidak ada padi yang bisa disimpan. Karena habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan padi cepat membusuk.
Warga Kasepuhan mengenal sekitar 50 jenis padi. Dengan pola tanam-panen sekali dalam setahun, padi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik, gemuk. Ada hasil panen yang bisa disimpan, sekaligus menjaga ketahan pangan. Padi yang disimpan bisa bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.
Bagi masyarakat Kasepuhan, menanam padi adalah bagian dari menjaga keselarasan dengan alam, menjaga keteraturan kosmik. Pandangan ini terangkum dalam “Beuteung seubeuh, baju weuteuh, imah pageuh, pamajikan reuneuh” (perut terisi, baju pantas, rumah kokoh, kesinambungan keturunan). Yang bermakna bahwa hasil tani dari menggarap tanah tidak perlu menunjukkan produktivitas tinggi yang menyebabkan lahan rusak. Namun yang penting, hasil tani dapat memenuhi semua kebutuhan hidup, bahkan membuat hidup menjadi tentram dengan masih bisa menghidupi keturunan dan terpenuhinya bahan makan.
Secara sosial, aktivitas masyarakat Kasepuhan berdasarkan pada kosmologi pancer pangawinan, yakni berlandaskan pada Sara (Agama),  Nagara (Pemerintah) dan Mokaha (Kasepuhan). Dengan prinsip “Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea”. Keputusan Kasepuhan harus diambil mengacu pada hukum, memberi manfaat kepada negara dan bermufakat dengan orang banyak.

0 komentar:

Posting Komentar