Masjid
siguntur merupakan bangunan bersejarah yang berdasarkan sumber lokal
berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya di Swarnabhumi (Sumatera).
Letaknya berdekatan dengan Batang Hari, yakni sungai yang terkenal
dengan benda-benda temuan arkeologis di sepanjang alirannnya. Secara
administratif terletak di Dusun Ranah, Desa Siguntur, Kecamatan Sitiung,
Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Masjid berdiri diantara makam
raja-raja Siguntur dan rumah adat Siguntur, tergabung dalam satu
kompleks.
Berdasarkan
sejarah setempat, pada tahun 1275 Siguntur merupakan pusat kerajaan
Melayu dari kerajaan Dharmasyraya. Kerajaan tersebut ada sejak islam
belum masuk wilayah Minangkabau dan sekitarnya. Kemudian abad ke-14
agama islam mulai masuk Kerajaan Siguntur. Pada saat itu yang berkuasa
adalah Raja Paramesora yang berganti nama menjadi Sultan Muhammad Syah
bin Sora Iskandar dan diikuti oleh anaknya. Setelah itu, Kerajaan
Siguntur bernaung dibawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti
Kerajaan Siguntur menganut islam adalah ditemukannya cap kerajaan.
Pemugaran
masjid pernah dilakukan oleh ahli waris dan masyarakat setempat pada
tahun 1957 berupa penggantian lantai masjid yang semula papan menjadi
plesteran semen. Studi kelayakan juga pernah dilakukan pada tahun
1991/1992 terhadap masjid dan rumah adat Siguntur. Kemudian dilanjutkan
pemugaran pada tahun anggaran 1992/1993 oleh Proyek
Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera
Barat. Dilakukan pembongkaran dan pemasangan baru atap berserta
rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Selain itu juga
dilakukan pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar
beton, pagar kawar berduri, serta pintu besi. Perbaikan akhir berupa
pengecetan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.
Pintu
masuk kompleks masjid berada di bagian timur terbuat dari besi. Bagian
depan kompleks masjid dikelilingi pagar beton, sedangkan di bagian
samping dan belakang dikelilingi pagar kawat duri. Masjid Siguntur
berdenah persegi panjang berdinding batu kali disemen dengan bentuk atap
susun tiga terbuat dari seng. Pintu masuk masjid juga berada di sebelah
timur dan hanya ada satu pintu terbuat dari kayu. Pintu tersebut
berdaun dua dan berbentuk jalusi. Lantai ruang utama yang pada awalnya
memiliki kolong dan terbuat dari papan sekarang telah diurug dan menjadi
semen. Pada dindingnya terpasang delapan buah jendela kayu berdaun dua.
Di
dalam bangunan induk berdiri lima tiang utama (sokoguru) yang terbuat
dari kayu ulin dengan tinggi 7,85 meter. Sedangkan tiang pembantu
memiliki tinggi lebih rendah (5 meter) berjumlah 12 dengan bentuk
berbagai segi. Selain kedua jenis tiang tersebut, bangunan masjid masih
disangga oleh tiang semu pilaster berjumlah sama dengan tiang pembantu,
yakni 12 buah. Setiap tiga tiang berfungsi sebagai penahan beban atap.
Di sisi barat ruang utama terdapat bangunan mihrab yang menjorok keluar.
Mihrab tersebut terbagi dua oleh mimbar yang berada di sebelah
kanannya. Akan tetapi, saat ini mimbar sudah tidak difungsikan karena
Masjid Siguntur sudah tidak digunakan untuk Sholat Jumat.
Masih
dalam kompleks masjid, terdapat bangunan baru di sebelah utara yang
digunakan sebagai tempat wudhu. Bangunan tersebut terbagi ke dalam tiga
ruangan, terbuat dari semen dan batu. Masih di sebelah utara, terdapat
kompleks pemakaman raja-raja Siguntur. Kompleks tersebut berdenah segi
lima dengan ukuran yang berbeda. Makam dibuat dengan sederhana, hanya
ditandai nisan dan jirat yang terbuat dari batu dan bata. Enam makam
yang diketahui adalah makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan
Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah
Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadir Tuangku Bagindo Ratu III,
Sultan Amiruddin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku
Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
0 komentar:
Posting Komentar