Masyarakat Mandailing dapat
dikatakan penghuni daerah Mandailing Natal. Meski begitu, penduduk asli
daerah ini bukan hanya masyarakat Mandailing, tetapi ada kelompok etnis
lain yaitu orang Lubu (biasa juga disebut orang Siladang) yang bermukim
di Kecamatan Muara Sipongi, dan ada pula orang pesisir Natal yang
bermukim di kawasan pesisir barat (Kecamatan Natal, Batahan dan Muara
Batang Gadis).
Sedikitnya
ada empat kelompok penutur bahasa yang berbeda di daerah Mandailing
Natal, yaitu bahasa Mandailing, bahasa Lubu, bahasa Ulu dan bahasa
Pesisir Natal. Hanya saja dengan penduduk yang mayoritas dan etnis
Mandailing di kabupaten ini maka orientasi budaya masyarakatnya
didominasi oleh budaya dan bahasa Mandailing (Mudhafarsyah, 2007:29).
Keberadaan
kelompok-kelompok etnis tersebut di daerah Mandailing Natal sudah
berabad-abad yang lalu. Searah antropologis, orang Lubu (Silodang) dan
orang Ulu (Muara Sipongi) termasuk ras proto-melayu, dan secara fenotik
yang artinya fenotif ciri fisik memang memiliki perbedaan dengan
orang-orang Mandailing. Orang pesisir Natal merupakan produk akulturasi
antara Mandailing dan Minangkabau, yang terjadi beberapa abad lalu,
diduga ketika jalur perhubungan antar benua masih melewati pantai barat
atau Samudera Hindia.
Masyarakat
Mandailing diperkirakan sudah mendiami kawasan Mandailing Natal
beberapa abad yang lalu. Di daerah ini banyak ditemukan situs-situs
purbakala yang menandakan bahwa kawasan ini sudah dihuni manusia sejak
berabad-abad lalu. Di suatu lokasi yang disebut Padang Mardia di daerah
Panyabungan terdapat beberapa peninggalan batu yang diperkirakan dari
masa Mesolithicum. Di Samangarambat (Siabu) terdapat pertapakan
Candi Hindu yang menurut data arkeologis bertaruh abad ke-9 Masehi. Di
Pidoli Lombang terdapat peninggalan-peninggalan candi Budha dari abad
ke-14, di lokasi yang oleh penduduk disebut Saba Biar.
Di dalam paradaton, hubungan antara individu satu sama lain didasarkan kepada lembaga adat dalihan na tolu.
Sesuai dengan sistem kekerabatan di Mandailing yang sifatnya patrilinel
(menurut garis keturunan bapak), maka perkawinan sifatnya eksogam,
artinya perkawinan dilakukan antar marga. Dari perkawinan antar marga
ini timbullah 3 (tiga) unsur yang satu sama lain saling terkait, saling
memberi, saling menerima, saling mendengar dan bersikap serta bertindak
secara serasi, selaras dan seimbang. Di dalam pelaksanaan kepemimpinan
adat dan pada upacara-upacara adat ketiga unsur ini memegang peranan
penting.
Dalihan na tolu
secara harfiah diartikan sebagai tungku yang penyangganya terdiri dari
tiga agar tungku tersebut dapat seimbang. Dalam upacara-upacara lembaga dalihan na tolu
ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan.
Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsur)
nya terdiri dari 3 (tiga), yaitu :
- Suhut dan kahangginya.
- Anak boru.
- Mora. (Pandapotan, 2005).
0 komentar:
Posting Komentar