Jumat, 12 Desember 2014

Sejarah Tari Bines

capture-20140305-142507_1394512868.jpg
Mengidentifikasi asal muasal tari Bines merupakan proses yang sulit ditelusur. Tidak ada dokumen tertulis yang dapat menjadi pedoman sebagai dasar referensi akurat dan teruji ilmiah. Meski begitu, berikut adalah bentuk legenda atau cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai asal muasal terciptanya tari Bines.
1.       Cerita Rakyat “Ibu Menangisi Anaknya”
Bines bermula dari cerita rakyat Ni Malelang Ode, seorang warga gayo yang dihukum mati karena berzina oleh seorang pemuda. Ketua adat menetapkan hukuman rajam atau cambuk kepadanya. Akhirnya ia pun meregang nyawa karena rasa sakit yang tak tertahankan.
Melihat kenyataan itu, ibu Ni Malelang Ode merasa sangat sedih. Ia menyesalkan apa yang telah dilakukan oleh anaknya. Ia menangis dan meratap di depan jasad anaknya yang terbujur dingin. Rasa sedih yang semakin meyesakkan itu sesekali membuatnya menghentakkan kakinya ke lantai. Inilah yang menjadi asal mula munculnya tari Bines.
Dahulu, syair yang mengiringi Bines berisi kisah-kisah sedih menyayat hati. Isi syair tersebut dipenuhi nasihat-nasihat kaum ibu kepada anak-anaknya agar menjaga sikap dan tingkah laku serta menjaga diri dari perbuatan yang dilarang secara hukum dan adat. Namun kemudian syair Bines berubah dan disesuaikan dengan kebutuhan sesuai dengan upacara di mana Bines ditampilkan.



2.       Kisah di Awal Penyebaran Islam
Bines bermula dari kisah kehidupan satu keluarga yang belum mengenal Islam. Keluarga tersebut memiliki 7 orang anak, masing-masing 6 perempuan dan 1 laki-laki. Tiba-tiba keluarga tersebut tertimpa musibah, anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia. Karena cinta mereka yang begitu dalam dan tidak rela atas kematian itu, mereka rela tidak menguburkan jenazahnya.
Keenam saudara peremuannya sepanjang malam mengelilingi jasad saudara mereka sambil meratap. Posisi duduk mereka persis seperti formasi dasar penari Bines. Dua orang di bagian kepala, dua orang di sisi kanan dan dua orang lainnya di sisi kiri.
Ritual yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam itu terlihat oleh seorang ulama bernama Syeh Abdul Karim yang sedang menyebarkan syiar Islam di Negeri Seribu Bukit itu. Ulama tersebut menyampaikan dengan tutur kata yang halus bahwa akan jauh lebih baik jika tarian tersebut dilakukan di acara pesta dan bukan dilakukan untuk orang yang sudah meninggal.
Inilah awal tarian Bines yang mengekspresikan berita duka, tergambar melalui syair-syair menyayat hati dan memendam pilu. Untuk mengenang jasa orang yang berperan atas munculnya tarian ini, dahulu tarian Bines selalu menyebut-nyebut nama Syeh Abdul Karim sebagai ucapan terima kasih.

 3.       Legenda Gajah Putih
Dalam suatu upacara di Meuligoe (Istana) Aceh, Sultan memerintahkan seluruh raja-raja Aceh untuk mencari “gajah putih” yang dikabarkan hidup di hutan dataran tinggi Gayo. Sultan menjanjikan hadiah kepada siapa yang berhasil menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut.
Pada upacara penyerahan gajah putih kepada Sultan di Kraton Aceh oleh Reje Linge XIV ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Akhirnya Sengeda lah yang dapat menjinakkan gajah putih tersebut dan menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Sultan menanyakan peristiwa tersebut sehingga Sengeda terpaksa membongkar bahwa Reje Linge XIV telah membunuh abangya Bener Meriah yang menangkap gajah putih tersebut. Segera setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge XV.
Kisah atau legenda mengenai peristiwa “gajah putih” dan kisah “Sengeda” adalah versi dari seorang penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang terkenal Mude Kala dalam bentuk syair Bahasa Gayo. Jalan ceritanya yaitu mengenai kisah “gajah putih” dan Sengeda yang berhubungan tentang pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV. Pengangkatan itu terjadi karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Meriah, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Lut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya
Dalam versi lain disebutkan bahwa ketika Sengeda memerintahkan rakyat untuk berhenti menyakiti Gajah Putih, ia meminta agar mereka menabuh bunyi-bunyian. Dari peristiwa ini terlahir berbagai karya seni. Para lelaki diminta duduk berbanjar, perempuan diminta berkumpul dan ikut menari dengan posisi setengah lingkaran sebagaimana halnya posisi Bines. Mereka bergerak meniru gerak burung, lambaian pinus dan gerak yang ditiru dari alam dengan ragam gerak beraneka ragam. Masyarakat percaya bahwa sejak saat itu gerak Bines terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman hingga sekarang.
 
Dari tiga kisah diatas, tidak ada data yang cukup untuk memilih mana yang paling benar dan teat secara ilmiah tentang latar belakang lahirnya tari Bines di Gayo Lues. Secara kelembagaan asal usul Bines yang lebih diakui adalah cerita rakyat Legenda gajah Putih, dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Karakteristik dasar seni budaya Aceh bersendikan Islam
  2. Dilihat dari gerak dan fungsi, menunjukkan nuansa Islam yang kuat
  3. Sejarah kerajaan Linge yang secara tertulis dapat dibuktikan secara ilmiah
  4. Gerak tarian lbih menunjukkan inspirasi dari alam seperti kepak sayap elang, burung terbang, awan berarak, dan lain-lain sebagaimana tergambar bahwa gerakan tersebut seperti mengundang untuk ikut bangkit dan bergerak.
Kendati demikian, tidak ada yang memastikan mana yang lebih benar. Inilah Bines dengan segala keunikannya, memberikan warna karakteristik seni budaya di dataran tinggi Gayo dan pantas menjadi kebanggan masyarakat setempat.

0 komentar:

Posting Komentar