Jumat, 12 Desember 2014

Pulau Penyengat

Masjid_sultan_Riau_Penyengat.JPG
BEKAS PUSAT PEMERINTAHAN RAJA-RAJA MELAYU
Pulau penyengat dapat dicapai dalam waktu  ±10 menit dengan perahu motor dari kota Tanjung Pinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau mungil yang luasnya kurang lebih 3,5 kilometer ini mempunyai pemandangan yang indah dan berbukit-bukti. Di Pulau Penyengat ini dapat dijumpai bangunan-bangunan bersejarah, peninggalan raja-raja Melayu.
Menurut cerita rakyat setempat nama penyengat diberikan oleh para pelaut yang singgah di pulau tersebut untuk mengambil air bersih. Para pelaut itu diserang oleh sejenis lebah hingga jatuh korban, sejak saat itu para pelaut menyebut pulau mungil itu dengan sebutan Pulau Penyengat. Ketika pusat pemerintahan Kerajaan Riau berdiri di pulau tersebut, nama pulau itupun dikenal dengan nama Pulau Penyengat Indra Sakti.
Karena letaknya yang strategis untuk pertahanan pada abad lalu Pulau Penyengat berkali-kali menjadi medan pertempuran. Tercatat antara lain, perang Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Raja Kecil dari Siak. Demikian juga ketika terjadi perang antara Riau dengan Belanda tahun 1782-1784. Sisa-sisa pertempuran berupa benteng pertahanan masih dapat disaksikan sampai saat ini.
Tahun 1803 dari pusat pertahanan Pulau Penyengat dibina menjadi sebuah negeri yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau Lingga, sedang Sultan berkedudukan di Dalik Lingga. Baru tahun 1900 Sultan pindah ke Pulau Penyengat. Sejak saat Pulau Penyengat berperan sebagai pusat pemerintahan, pusat adat istiadat, pusat agama Islam dan pusat kebudayaan Melayu. Peranan tersebut berakhir tatkala Sultan Abdurrachman Muazamsyah meninggalkan pulau mengungsi ke Singapura karena tidak bersedia menandatangani kontrak dengan Belanda yang dianggap merugikan.
Menghadapi ancama Belanda yang akan merampas segala harta benda termasuk istana, Sultan memerintahkan kepada rakyat yang tinggal di Pulau Penyengat agar menghancurkan apa saja yang kiranya akan dirampas oleh Belanda. Sejak itu beberapa bangunan pun menjadi puing.
Menelusuri pulau penyengat masih dapat disaksikan antara lain sebuah mesjid yang dirawat dengan baik, empat kompleks makam raja, dua bekas istana, sumur, taman, dan beberapa gedung lainnya.
Mesjid yang disebut Mesjid Raya layak dibanggakan sebagai cermin keagungan agama Islam. Kubah, menara, dan mimbar semuanya serba indah. Mesjid ini didirikan tahun 1249 Hijriah bertepatan dengan tahun 1832 Masehi, atas prakarsa Raja Abdurrachman Yang Dipertuan Muda VII yang juga disebut Marham Kampung Bulang. Riwayat lain yang menarik tentang pembangunan mesjid ini ialah dipergunakannya putih telor sebagai campuran kapur untuk memperkuat kubah, menara , dan bagian-bagian tertentu dari mesjid.
Di tengah-tengah kediaman penduduk akan dijumpai sisa gedung Engkau Duah yang merupakan tabib kerajaan. Tidak jauh dari tempat tersebut dapat dijumpai pula sisa-sisa bangunan istana Sultan Abdurrachman Muazamsyah, yang merupakan Sultan Riau Lingga yang terakhir. Dari sisa-sisa bangunan dapar diperkirakan bahwa dulu merupakan sebuah istana yang amat megah.
Berhimpitan dengan sebatang pohon besar terlihat pula sisa gedung milik Tengku Bilik, adik Sultan Riau Lingga terakhir, yang bersuamikan Tengku Abdul Kadir. Bentuk bangunan masih tampak jelas, yang menggambarkan ciri-ciri rumah yang amat disukai oleh para bangsawan pada akhir abad XIX. Bangunan serupa masih dapat dijumpai di tempat lain seperti Singapura, di Johor dan di Semenanjung Malaysia.  Sedang profil bangunan bergaya Portugis tampak pada sisa-sisa istana milik Raja Ali Marhum Kantor. Tembok yang mengelilingi sedung masih utuh. Pembangunan fisik yang pesat terjadi pada masa pemerintahan Raja Ali Marhum Kantor yang saat itu menjabat Sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII.
Di Pulau Penyengat dapat pula dijumpai gedung kecil yang sidah dipugar, yangdisebut gedung mesiu atau gedung obat bedil. Menurut keterangan ada empat gedung serupa di tempat tersebut, hanya yang lainnya sudah tinggal sisa-sisa saja.
Pusat perbentangan terdapat di Bukit Kursi dan Bukit Penggawa Benteng dilindungi dengan parit-parit pertahanan. Kebanyakan dibangun ketika terjadi peperangan antara riau dengan Belanda tahun 1782-1784.
Sebagai bekas berkumpulnya cendekiawan Pulau Penyengat juga ditandai dengan puing-puing bekas percetakan dan gedung Rusdiah Klub, yang  merupakan perkumpulan cendikiawan Melayu di Pulau Penyengat. Percetakan dibangun tahun 1890. Sisa-sisa lainnya yang tampa agak utuh adalah taman pantai dengan pemandangan yang mengesankan.
Beberapa bangunan kompleks pemakaman juga ada di Pulau Penyengat, antara lain kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah. Dalam kompleks makam ini dapat pula ditemui pusara tokoh-tokoh terkemuka kerajaan Riau, yaitu pusara Raja Haji Abdulla Marhum Mursyid.Yang Dipertuan Muda Riau IX, pusara Raja Ali Haji, pujangga Gurindam XII yang terkenal. Juga dapat dijumpai pusara raja Haji Abdullah, hakim Syariah.
Di bukit selatan Pulau Penyengat terdapat makam Raja Haji Marhum Teluk Ketapang, bersebelahan dengan makam Habib Sekh seorang ulama terkenal di jaman Kerajaan Riau. Raja Haji Teluk Ketapang adalah Yang Dipertuan Muda Riau IV.
Makam lainnya adalah kompleks makam raja Jaafar, Yang Dipertuan Muda Riau VI. Kompleks ini termasuk salah satu bangunan yang indah dengan pilar-pilar, kubah-kubah kecil dan kolam air untuk berwudu. Sedang di lereng bukit di belakang Mesjid Raya terdapat pula makam Raja Abdurrachman Marhum Kampung Bulang, Yang Dipertuan Muda Riau VII. Pusarannya dikelilingi tembok yang dihiasi dengan ukiran timbul dan porselin di bagian muka.
Bagi peminat wisata budaya, Pulau Penyengat memang menampilkan kelebihan tersendiri. Penduduk yang ramah, angkutan yang lancar, peninggalan sejarah, pemandangan yang indah dan Tanjung Pinang sebagai kota dagang membuat kawasan tersebut amat potensial. Pulau Penyengat yang indah dan mungil sarat dengan peninggalan sejarah ini, tentu saja akan sangat bermanfaat bagi pengkajian budaya Melayu saat ini dan di masa mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar