Sejarah Jalur Trem Yogyakarta – Brosot (1895 – 1976)
Salah
satu sarana transportasi yang menunjang perekonomian Jawa adalah kereta
api. Kereta api menjadi salah satu moda transportasi yang mampu
menghubungkan sejumlah daerah. Jalur pertama Semarang – Kedungjati
diresmikan pada tahun 1871, selanjutnya jalur Batavia – Buitenzorg
dibuka pada 1873 dan jalur Surabaya – Batavia pada tahun 1878 (Lombard,
2000: 139 – 140). Pembukaan jalur kereta api ini menandai kian
berkembangnya perekonomian di Pulau Jawa.
Pengembangan
moda transportasi kereta api pada awalnya dihubungkan dengan sejumlah
daerah yang memiliki potensi. Salah satunya adalah Yogyakarta.
Pembangunan rel kereta api di Yogyakarta berkaitan dengan potensi sumber
daya alam di Yogyakarta, yaitu perkebunan. Potensi yang dimiliki ini
tentunya berhubungan dengan lapisan tanah di daerah ini. Sularto (1976:
24) menyebutkan jika jenis tanah yang ada di Yogyakarta terdiri dari 5
jenis, yaitu Regosol, Latertic, Limestone, Gromosol, dan Aluvial.
Tanah
yang memiliki kualitas baik untuk ditanami adalah tanah Regosol, yaitu
tipe Grey, Young Sandyloan (Y A 3) dan Grey, Young Clay loan (Y A 4).
Sularto (1976: 25) menegaskan bahwa tanah type Grey, Young Sandyloan (Y A
3) sangat baik untuk tebu dan padi, serta paling cocok untuk tembakau.
Tanah ini terdapat di dataran Merapi di Sleman dan Bantul.
Sementara
tanah Grey, Young Clay loan (Y A 4) memiliki sedikit perbedaan dalam
tanaman. Tanah ini dapat digolongkan sebagai tanah – tanah yang
produktivitasnya sangat tinggi dan cocok sekali untuk tebu dan padi.
Tanah ini terdapat di daerah pantai di Bantul (Sularto, 1976: 25).
Potensi
ini pula yang membuat pihak NISM memutuskan untuk mengajukan konsesi
guna membangun jalur rel kereta api yang menghubungkan Semarang,
Surakarta dan Yogyakarta. Daerah ini adalah daerah yang kaya akan
komoditas ekspor. Mereka berani mengajukan permohonan konsesi itu atas
dasar pertimbangan bahwa wilayah yang akan dilalui oleh jalan rel itu,
yaitu daerah – daerah Semarang Selatan, Surakarta dan Yogyakarta
merupakan daerah penghasil barang ekspor yang kaya seperti kayu,
tembakau dan gula. Barang – barang ekspor itu perlu diangkut ke
pelabuhan Semarang (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 53).
Potensi
agraris ini pula yang mendorong berdirinya sejumlah pabrik gula di
kawasan Bantul. Tercatat ada 4 pabrik gula di Bantul. Kusumaningsih
(2006: 59) menyatakan bahwa pabrik – pabrik gula di Kabupaten Bantul
berada di Bantul, Gesikan, Pundung dan Gondang Lipuro.
Keberadaan
pabrik gula tersebut mampu menarik sejumlah pihak pengusaha swasta
untuk mengajukan konsesi pembangunan jalur trem. NIS mengadakan
perluasan jalur yang menghubungkan Yogyakarta dengan Brosot (Tim Telaga
Bakti Nusantara, 1997: 71). Jalur ini dimulai dari Stasiun Tugu dan
berakhir di Kabupaten Adikarto (Brosot). Kusumaningsih (2006: 59)
menyebutkan “Jalur KA Yogyakarta – Brosot merupakan jalur trem NISM dari
jalur utama Semarang – Vorstelanden. Lebar rel yang digunakan berukuran
1.435 mm. Pembangunan jalur itu berdasarkan Gouvernement Besluit No.9 tahun 1893 tanggal 20 April 1893 untuk pengajuan konsesi selama 50 tahun”.
Pembangunan
jalur ini berlangsung secara bertahap. Tahap pertama jalur yang
dibangun adalah jalur Jogja – Srandakan dan jalur kedua Srandakan –
Brosot. Tahap ini diungkapkan dalam Kusumaningsih (2006: 59)
“Pembangunan jalur trem Yogya – Brosot, terbagi menjadi 2 bagian
pembangunan, bagian pertama dibangun dari Yogyakarta (Tugu) ke Srandakan
sepanjang 23 km, mulai beroperasi pada tahun 1895. Bagian ke 2 dari
Srandakan ke Brosot sepanjang 2 km, mulai beroperasi pada tahun 1915”.
Tahapan pembangunan tersebut dimuat juga dalam peta tahapan pembangunan
rel di Jawa yang terdapat pada lampiran buku Sejarah Perkeretapian
Indonesia Jilid 1. Peta pertama tahun 1899 memuat jalur Jogja –
Srandakan. Pada peta tahun 1925 memuat jalur Jogja – Sewugalur.
Jalur
yang cukup panjang ini tentunya membutuhkan sejumlah stasiun. Maka
didirikanlah sejumlah stasiun kecil untuk memperpendek jalur
pengangkutan. Kusumaningsih (2006: 70) menyebutkan bahwa sepanjang jalur
trem Yogyakarta – Brosot dibangun beberapa stasiun kecil untuk
memperpendek jalur pengangkutan kereta api. Stasiun – stasiun tersebut
adalah stasiun Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Bantul dan
Paalbapang.
Tentang
pendirian stasiun – stasiun tersebut, belum ditemukan sumber – sumber
yang menuliskan tentang rincian dari tahun pendirian. Pembangunan
stasiun ini juga diikuti dengan mendirikan sejumlah rumah dinas yang
ditempati para pengelola stasiun.
Rumah
Dinas yang berada di Stasiun Ngabean berjumlah 4 buah. Dua rumah dinas
untuk pengelola stasiun. Sementara dua rumah yang lain adalah
kepentingan pabrik gula Madukismo. Pendirian keempat rumah dinas ini
tidak diketahui secara pasti, karena terbatasnya sumber tertulis yang
ada.
Sementara
rumah dinas di Stasiun Winongo ada 3 buah. Dua rumah dinas kemungkinan
dibangun pada tahun 1956. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti yang
terpahat pada lubang hawa, di septitank salah satu rumah tersebut.
Sedangkan satu rumah dinas yang lain tidak diketahui pasti karena
bangunannya telah berubah. Tahun pendirian dari kedua rumah itu memiliki
keterkaitan dengan pabrik gula Madukismo (sekarang PT. Madubaru).
Pabrik Gula Madukismo berdiri pada tahun 1955 (www.madubaru.com). Fungsi dari rumah dinas ini adalah sebagai tempat tinggal petugas perkebunan, untuk memantau pengangkutan bahan produksi.
Pada
masa penguasaan Jepang terdapat sejumlah penghapusan lintasan lama.
Kebijakan ini diberlakukan pada sejumlah jalur di Pulau Jawa. Jalur NISM
yang dihapus, ditandai dengan pembongkaran rel KA jalur Palbapang –
Sewugalur sepanjang 15 km. Jalur ini dibongkar pada 1943 (Tim Telaga
Bakti, 1997 : 145).
Pada
tahun 1945 (setelah Indonesia merdeka) pengelolaan KA terbagi menjadi
2, di daerah yang dikuasai dikelola DKA (Djawatan Kereta Api) sementara
di daerah yang dikuasai Belanda dikelola oleh VS (Verenogde Spoorwegbedrijf) / SS (Staats Spoorwegen).
Setelah pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), terdapat sejumlah
perubahan dalam pengelolaan Kereta Api. Sejak 1 Januari 1950, secara de facto semua aset VS telah diambil alih oleh DKA, namun de yure belum
menjadi kekayaan Negara aset DKA. Hal ini diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 dan 41 tahun 1959, yang
menyatakan aset dari 12 perusahaan kereta api swasta Belanda yang
tergabung dalam VS diserahkan pengelolaannya kepada DKA.
Di
era setelah proklamasi, sarana transportasi Kereta Api terus mengalami
perkembangan. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat sejumlah kendala.
Pada tahun 1970 – an kendala – kendala tersebut mencapai klimaksnya.
Kendala – kendala tersebut di antaranya adalah masalah penumpang gelap,
kerusakan lokomotif maupun relnya. PT. Kereta Api memutuskan menutup
sejumlah jalur kecil yang secara ekonomi tidak memberikan keuntungan.
Penutupan jalur ini juga ditegaskan sejumlah narasumber di lapangan,
mereka menyebutkan jika jalur Yogya – Brosot mulai tidak beroperasi
sekitar tahun 1976 – 1977. Uraian tentang tidak beroperasinya sejumlah
jalur tersebut terdapat dalam kutipan berikut :
“Also in the 1970s, ex-tramway lines began to be abandones, as they were no longer economically viable: not enough paying passengers (trains were always loaded to capacity and more, though). The victims included the whole Aceh and Madura systems and most branch lines in Java. Presently, the Purwosari – Wonogiri line (ex-NIS) is the only proper tramway (it runs through the city center alongside the main street) still in operation. All other tramway lines have been removed. As the lines were removed, the steam locomotives serving on those lines were also retired, a process completed by the mid – 1980s. Or perhaps, it was the run-down of the rolling stock which resulted in the abandonment of the railway lines” (keretaapi.tripod.com)."
0 komentar:
Posting Komentar