Menurut
Bahasa Melayu, Medan berarti “tempat berkumpul”. Daerah ini sejak zaman
dahulu kala merupakan tempat berkumpul, berdagang, serta bertaruh
orang-orang dari Hamparan Perak, Sukapiring, dan lain-lain. Nama “Medan”
pertama kali tertulis dalam laporan kunjungan Anderson di Pesisir Timur
tahun 1823. Saat
itu terdapat sekitar 200 orang penduduk Medan. Seorang pemimpin bernama
Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim di sana. Ia
menarik pajak dari sampan-saman pengangkut lada yang menuruni sungai.
Keadaan itu pernah melahirkan perselisihan dengan Sultan Deli yang
menggugat kesahan legalitas kegiatan tersebut. Sewaktu Anderson singgah,
pasukan Sultan sedang mengepung kubu-kubu musuhnya itu. Empat
puluh tahun kemudian perwajahan Medan tampaknya tidak berubah. Terbukti
pada tahun 1866, Cats Baron de Raet ragu-ragu menganggapnya sebagai
kampong. Tahun 1869, Medan dipilih sebagai tempat tinggal pengelola perkebunan Deli-Maatschappij. Medan juga dipandang sebagai sejenis Buitenzorg dibandingkan dengan Labuhandeli yang berawa-rawa. Sebuah
garnisun beranggotakan sekitar seratus orang ditempatkan di sana sejak
1873, mungkin akibat pemberontakan Sunggal yang pecah tahun sebelumnya. Sebelum tahun 1879, bangunan-bangunan utama yang ada hanyalah kantor pusat administrasi dan rumah sakit. Memasuki tahun
1879 asisten-residen Deli meninggalkan Labuhandeli untuk menetap di
Medan. Perpindahan itu dengan cepat diikuti pembangunan gedung-gedung
administrasi dan tahun berikutnya Medan menjadi sebuah onderafdeelinng. Pada
tahun 1888, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota dan tahun
berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan.
Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama
setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara
besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota Eropa,
dua orang bumiputra dan seoran Tionghoa. Di
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi
besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan
Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880
perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan Tionghoa, karena sebagian
besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan
kerusuhan. Perusahaan
kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan.
Orang-orang Tionghoa bekas buruh kuli perkebunan kemudian di dorong
untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan
orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka ke Medan bukan untuk
bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru
dan ulama.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar