Jumat, 12 Desember 2014

Sejarah Kota Medan

timthumb_1394512666.jpg
Menurut Bahasa Melayu, Medan berarti “tempat berkumpul”. Daerah ini sejak zaman dahulu kala merupakan tempat berkumpul, berdagang, serta bertaruh orang-orang dari Hamparan Perak, Sukapiring, dan lain-lain. Nama “Medan” pertama kali tertulis dalam laporan kunjungan Anderson di Pesisir Timur tahun 1823.
Saat itu terdapat sekitar 200 orang penduduk Medan. Seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim di sana. Ia menarik pajak dari sampan-saman pengangkut lada yang menuruni sungai. Keadaan itu pernah melahirkan perselisihan dengan Sultan Deli yang menggugat kesahan legalitas kegiatan tersebut. Sewaktu Anderson singgah, pasukan Sultan sedang mengepung kubu-kubu musuhnya itu.
Empat puluh tahun kemudian perwajahan Medan tampaknya tidak berubah. Terbukti pada tahun 1866, Cats Baron de Raet ragu-ragu menganggapnya sebagai kampong.  Tahun 1869, Medan dipilih sebagai tempat tinggal pengelola perkebunan Deli-Maatschappij. Medan juga dipandang sebagai sejenis Buitenzorg dibandingkan dengan Labuhandeli yang berawa-rawa. Sebuah garnisun beranggotakan sekitar seratus orang ditempatkan di sana sejak 1873, mungkin akibat pemberontakan Sunggal yang pecah tahun sebelumnya.
Sebelum tahun 1879, bangunan-bangunan utama yang ada hanyalah kantor pusat administrasi dan rumah sakit. Memasuki tahun 1879 asisten-residen Deli meninggalkan Labuhandeli untuk menetap di Medan. Perpindahan itu dengan cepat diikuti pembangunan gedung-gedung administrasi dan tahun berikutnya Medan menjadi sebuah onderafdeelinng.
Pada tahun 1888, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota Eropa, dua orang bumiputra dan seoran Tionghoa.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan.
Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh kuli perkebunan kemudian di dorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Mereka ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama.

0 komentar:

Posting Komentar