Sejarah Pegadaian di Yogyakarta
Pegadaian
sebagai lembaga perkreditan yang memberikan pinjaman uang dengan agunan
barang-barang bergerak telah lama dikenal di Indonesia yaitu sejak
zaman pemerintahan VOC (Vereenigde Oost-Indie Compagnie). Pada
awalnya, perhatian VOC hanya tertuju pada masalah rempah-rempah di
Kepulauan Maluku. Pada awalnya VOC tidak mempunyai keinginan untuk
mencampuri urusan politik dalam negeri, kecuali sepanjang untuk
mendapatkan keuntungan dagangnya. Hal ini dipandang penting karena
disamping untuk memenangkan persaingan dengan pedagang-pedagang Jawa,
Cina, Arab, Eropa lainnya juga untuk mengekalkan perjanjian dagang
dengan pengusaha-pengusaha lokal Jawa.
Semakin
kukuhnya kekuasaan ekonomi politik VOC di Nusantara tersebut
menyebabkan VOC perlu mendirikan suatu lembaga perbankan. Keperluan itu
semakin mendesak ketika dihadapkan pada masalah permodalan bagi
pedagang-pedagang Belanda yang berusaha memperluas lapangan kerjanya.
Oleh karena itu, atas prakarsa Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada
tanggal 29 Agustus 1746 didirikanlah Bank van Leening di
Batavia. Bank ini didirikan dalam bentuk kerjasama antara VOC dan pihak
swasta lainnya dengan ketentuan 2/3 modal berasal dari VOC dan 1/3 dari
pihak swasta. Disamping memberikan kredit dengan landasan hukum gadai, Bank van Leeningjuga berfungsi sebagai bank wesel yaitu menerima simpanan masyarakat.
Pada waktu itu nasabah Bank van Leening mayoritas
berasal dari orang-orang Belanda dan sedikit orang Cina, Arab, dan
Jawa. Setiap bulan nasabah selalu bertambah sehingga keuntungan yang
didapat semakin besar. Melihat betapa menguntungkannya Bank van Leening
ini, maka timbul kehendak agar bank ini seluruhnya dikuasai oleh VOC.
Pada tahun 1794 dikeluarkanlah keputusan untuk membubarkan Bank van Leening.
Sebagai gantinya didirikan Bank van Leening yang
baru dengan tugas hanya memberikan kredit saja dengan modal, pengurus
dan pegawai seluruhnya dari VOC. Bank van Leening ini terus berlangsung
dan memonopoli perkreditan hingga dibubarkannya VOC pada 31 Desember
1799. Namun, jatuhnya VOC tidak mempengaruhi Bank van Leening yang
kemudian diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya
peraturan yang tegas tentang barang yang dapat digadaikan, yaitu :
emas, perak, permata, kain, dan sebagian kecil perabotan rumah tangga
serta barang-barang lain yang sejenis yang dapat disimpan dengan baik
selama ± 13,5 bulan.
Perjalanan
sejarah pegadaian di Yogyakarta diawali dengan pendirian pegadaian
pertama kali tahun 1913 yaitu pegadaian Ngupasan dan diikuti pegadaian
Lempuyangan pada tahun yang sama.. Kedua pegadaian itu dipimpin oleh
seorang kepala pegadaian bernama RJA Stolk. Dalam kurun waktu 1913-1914,
berturut-turut didirikan kantor pegadaian (pandhuis) di
seluruh wilayah Yogyakarta, yaitu pegadaian Gondomanan, Godean, Tempel,
Sleman, Prambanan, Imogiri, Bantul, Jogoyudan, Sentolo, Brosot, dan
Gunung Kidul. Dengan keluarnya Staadsblad 1914 No. 794 semua pegadaian di wilayah Yogyakarta di monopoli pemerintah Hindia Belanda.
Resesi
ekonomi telah mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan
berbagai tindakan rasionalisasi, antara lain menurunkan gaji pegawai
pegadaian bumiputera, memecat para kuli dan mengalihkan pekerjaan mereka
kepada pegawai. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan pegawai, yang
kemudian terakumulasi dalam gerakan pemogokan oleh PPPB (Perserikatan
Pegawai Pandhuis Bumiputera). PPPB adalah sebuah perkumpulan atau
organisasi pegawai pegadaian yang didirikan tahun 1916. Pemogokan
pertama kali terjadi di pegadaian Ngupasan pada tanggal 12 Januari 1922.
Proses terjadinya pemogokan dimulai dari penolakan seorang pegawai
untuk mengangkat barang-barang yang akan dilelang dari gudang ke tempat
pelelangan. Menjadi permasalahan karena hal ini dilakukan dengan nada
menghina dan biasanya juga pengangkutan ini dilakukan oleh pekerja yang
sudah mendapat bagiannya. Karena perintah tersebut ditolak oleh pegawai
yang mendapat tugas itu, terjadilah perselisihan. Pegawai pegadaian itu
kemudian diskorsing dari pekerjaannya.
Hal
inilah yang mendorong solidaritas pegawai pegadaian untuk melakukan
pemogokan. Pemogokan ini berkembang semakin luas ke kantor-kantor
pegadaian di wilayah Yogyakarta seperti Lempuyangan, Bantul, Godean,
Brosot, Sentolo, Gunungkidul, Sleman, Tempel dan kota-kota lain di luar
wilayah Yogyakarta seperti Kebumen, Tegal, Pekalongan, Semarang,
Rembang, Surabaya, dan Pasuruan. Menghadapi pemogokan-pemogokan yang
dilakukan PPPB pada 1923 pemerintah Belanda bersikap keras dan tetap
tidak akan menuruti tuntuan PPPB, sehingga pemogokan pun mengalami
kegagalan.
Pada
masa pendudukan Jepang tanggal 1 Desember 1943, kantor-kantor pegadaian
di wilayah Yogyakarta dibawah pengawasan swapraja, sehingga kantor
pegadaian pusat tidak mempunyai hak terhadap urusan pegadaian daerah.
Pada masa perang kemerdekaan bangunan kantor pegadaian Tempel digunakan
sebagai persembunyian pejuang-pejuang RI dalam usahanya melawan militer
Belanda. Setelah kemerdekaan bangunan ini dipergunakan lagi sebagai
kantor pegadaian cabang Tempel sampai tahun 2002. Setelah ditutup selama
kurang lebih lima tahun, pada tahun 2007 kantor pegadaian cabang Tempel
dibuka kembali dengan menempati bekas rumah dinas kepala cabang
pegadaian (beheerder) di sebelah barat bangunan induk pegadaian cabang Tempel sampai sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar