Lawang Kuri
Lawang Kuri terletak di tepi jalan raya Gedong Wani Buay Selagai, Kecamatan Mergo Tigo, Kabupaten Lampung Timur. Lawang Kuri
ini berupa pintu dengan dua daun pintu yang terbuat dari kayu jati.
Sistem pengunci pada Lawang Kuri berupa gerendel palang dari kayu yang
dipasang di bagian tengah kedua daun pintu. Motif hias pada pintu ini
berupa sulur-suluran, flora dan bentuk-bentuk geometris yang dipahatkan
hampir di seluruh permukaan pintu. Pada kusen pintu bagian samping atas
terdapat ragam hias konstruktif berbentuk sayap burung, simetris di
kedua daun pintu. Ukuran keseluruhan pintu adalah lebar 210 cm dan
tinggi 252 cm. Adapun masing-masing daun pintu berukuran lebar 50 cm dan
tinggi 175 cm.
Lawang Kuri
ini ditempatkan di dalam cungkup karena lokasinya tepat di pinggir
jalan kecamatan, sehingga jika dibiarkan terbuka dikhawatirkan kotoran,
debu dan air hujan akan semakin mempercepat kerusakan pada cagar budaya
tersebut. Menurut informasi dari juru pelihara, Lawang Kuri ini berasal
dari Kesultanan Banten, sebagai simbol terjalinnya hubungan antara
Banten dengan Lampung.
Hubungan
Lampung dan Banten sudah berlangsung dalam periode yang panjang.
Prasati berhuruf Arab yang ditemukan di Lampung, menunjukkan kuatnya
pengaruh Banten ketika terjadi penyebaran agama Islam di wilayah
Lampung. Dalam tradisi lisan, disebutkan bahwa sebelum letusan Gunung
Krakatau memisahkan daratan Sumatera dan Jawa, sudah terjadi interaksi
antara kedua wilayah tersebut.
Migrasi
orang Lampung ke Banten atau sebaliknya, secara simbolik digambarkan
ketika Fatahillah mempersunting anak Ratu Pugung yang bernama Putri
Sinar Alam. Dari perkawinan tersebut lahirlah Hurairi, yang setelah
dewasa dan menunaikan ibadah haji, mengubah namanya menjadi Haji
Muhammad Zaka Waliullah Ratu Darah Putih, yang selanjutnya bergelar
Minak Kejala Ratu (Hardjasaputra, ed., 2008).
Lampung
sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil lada yang penting di
Nusantara. Sebelum masuknya kolonialisme, daerah ini berada di antara
dua kekuatan besar pada waktu itu, yakni Palembang dan Banten. Palembang
merupakan tempat pemasaran lada dari Lampung, Jambi, dan Bangka. Diduga
Palembang akan meluaskan pasokan ladanya hingga ke Tulang Bawang.
Apabila Lampung jatuh ke tangan Palembang, tentu saja hal tersebut akan
menjadi kerugian besar bagi Sultan Banten, karena Banten akan kehilangan
sumber lada terpenting untuk pasar Eropa.
Sekitar
abad ke-12 hingga 13, terjadi persaingan untuk memperebutkan kekuasaan
antar marga di daerah Lampung. Pada saat itu, adat memegang peranan
penting dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk urusan keamanan dan
perekonomian. Masing-masing marga memposisikan diri seperti
kerajaan-kerajaan kecil, dan saling bersaing. Dalam suasana seperti itu,
pengakuan politik Kesultanan Banten sangatlah dibutuhkan. Beberapa
wilayah sudah mengakui kekuasaan Banten sehingga menjadi vassal Banten. Para pemuka marga mengambil kesempatan tersebut untuk memperkuat posisinya. Mereka berbondong-bondong melakukan sebake
Banten untuk meminta restu dan melegitimasi kekuasaannya. Dengan
demikian, para pemuka adat tersebut mengakui bahwa mereka merupakan
bawahan Sultan Banten.
Sebagai gantinya, Sultan Banten menganugerahkan gelar seperti punggawa, pangeran, ngabehi, jenang,radin, dan sebagainya. Selain itu, Sultan juga memberikan piagam (tamra prasasti) dalam bahasa Jawa Banten yang ditulis dalam aksara Arab dan Lampung. Piagam tersebut ditulis di atas lempengan tembaga (dalung). Sultan pun memberikan benda-benda seperti lawang kuri,
payung, keris, dan lain-lain. Sampai sekarang, para pemuka adat di
beberapa marga masih menyimpan benda pusaka tersebut. Sayang sekali,
selama masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik di Indonesia,
benda-benda berharga tersebut banyak yang hilang.
Lebih jelas lagi mengenai Lawang Kuri
dapat ditinjau dari data etnohistoris tentang Gedong Wani. Disebutkan
bahwa pada sekitar tahun 1532, Sultan Banten memerintahkan kepada
seluruh penguasa Lampung untuk menghadap (seba). Salah satu
marga yang berkuasa pada saat itu yakni Buay Selagai yang berkedudukan
di Kampung Gedong Kuripan, Abung Kotabumi, memenuhi perintah tersebut.
Tokoh dari Buay Selagai yang berangkat ke Banten adalah Ratudinata.
Sesampainya di Banten, Ratudinata diberi gelar Raden Cakradinata oleh
Sultan Banten.
Di
Banten, Raden Cakradinata mendapat ajaran Islam, yakni dua Kalimah
Syahadat dan Surat Al-Ikhlas. Ketika kembali ke Lampung, Raden
Cakradinata mendapat kenang-kenangan dari Sultan Banten berupa pintu
gerbang atau Lawang Kuri. Saat perjalanan kembali ke Lampung, Raden
Cakradinata beserta rombongan melalui Way Sekampung. Perjalanan terhenti
karena terhalang air terjun. Kemudian mereka membuka hutan untuk
dijadikan perkampungan sementara. Mereka menetap di daerah tersebut
selama tiga tahun, kemudian pindah ke arah hilir, di daerah perbatasan
Jabung. Daerah tersebut diberi nama Gedong Wani. Di sini rombongan
tersebut menetap selama 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi,
kampung Gedong Wani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gerem dan
Way Sekampung, dan bertahan hingga sekarang.
Berita
lain yang menyebutkan tentang Lawang Kuri terdapat dalam surat
kontrolir Teluk Betung tahun 1883. Disebutkan bahwa atribut-atribut yang
diberikan Sultan Banten kepada para pemimpin adat antara lain adalahsiger, slenggam dalem, pangga, burung garuda,jempana, rato, penduk wo belas, sabuk jaran, payung hendak, payung gubir, payung agung, payung hitam,tumbak gegeakan merak, mendaringan, dader, tombak bercabang, kandang rarang, jimat agung,pencarengan, lawang kuri, peninjauan, kupiah, ngarih kulikat, jajalan putri, pepadon, pelita empat, danpancah aji. Dalam mengendalikan kekuasaannya di Lampung, Banten hanya menempatkan jenjen di Semangka (Kota Agung). Jenjen tidak
memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan, ia hanya bertugas
dalam mengelola penerimaan lada dari Lampung kemudian
mendistribusikannya ke bandar Banten.
Pada
masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552 – 1570), kekuasaan Banten
diperluas hingga ke Lampung dan daerah di sekitar Sumatera Selatan.
Gerakan ekspansif tersebut dimaksudkan untuk menguasai seluruh perairan
Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan
perdagangan Banten, serta perluasan perkebunan lada. Dengan kata lain,
Maulana Hasanuddin telah berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar
kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Penguasaan tersebut tidak
bertahan lama karena Palembang dapat melepaskan diri dari pengaruh
Banten. Sementara itu, Lampung masih dikuasai Banten, bahkan orang
Lampung biasa membawa Lada ke Banten namun mereka tidak diperkenankan
menjual secara langsung kepada pedagang. Hanya Sultan Banten saja yang
berhak menjual lada tersebut (Hardjasaputra, ed., 2008).
Dalam
tulisannya, Tome Pires memberikan keterangan tentang hubungan Lampung
dengan Banten sebelum terbentuknya Kesultanan Banten. Dituliskan adanya
hubungan dagang antara Kerajaan Sekampung, Andalas, dan Tulang Bawang
dengan Banten. Namun tidak disebutkan bahwa ketiga kerajaan tersebut
merupakan vassal Banten Girang.
Dalam
Sajarah Banten disebutkan bahwa Maulana Hasanuddin mengunjungi bagian
selatan Sumatera (Lampung, Selebar, Bengkulu, dan Indrapura) setelah
menaklukkan Banten Girang. Ia bermaksud mengislamkan wilayah tersebut.
Data tersebut mengisyaratkan bahwa wilayah-wilayah tersebut semula
merupakan kekuasaan Banten Girang.
Pada
masa Kerajaan Sunda masih jaya, yakni sekitar tahun 1522, Banten telah
menjadi salah satu pelabuhan yang cukup penting. Dalam setiap tahunnya,
Banten mampu mengekspor 1000 bahar lada, atau 180.000 kg lada.
Terbatasnya lahan perkebunan lada dan permintaan yang tinggi di pasar
dunia, menyebabkan Kesultanan Banten melakukan kontrol yang kuat
terhadap daerah-daerah penghasil lada, seperti Lampung, Palembang,
Bengkulu, dan Jambi. Permintaan lada yang terus meningkat dari tahun ke
tahun tidak terlepas dari kualitas lada yang dihasilkan Banten dan
Lampung.
Jika
dibandingkan dengan lada yang berasal dari Malabar dan Aceh, lada
Banten lebih berkualitas. Bukti-bukti fisik yang menguatkan ramainya
perdagangan lada di Banten adalah ditemukannya alat penggilingan lada di
daerah Pamarican. Bahkan VOC mendirikan benteng Speelwijk di kampung
Pamarican pada tahun 1685. Di situs Pamarican pernah dilakukan
penelitian biologi tentang temuan sisa polen lada. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa terdapat kesamaan varietas lada di Pugung Raharjo,
Lampung dengan temuan sisa polen di Pamarican, Banten.
Pada
saat Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Abdul Kadir (1605 –
1640), orang-orang Lampung banyak yang datang ke Banten memasarkan hasil
buminya. Atas persetujuan Sultan Banten, para golongan elit di Lampung
diberi mandat untuk berkuasa. Mereka diberi semacam plakat yang
menyatakan ketundukan terhadap Sultan Banten.
Dari
uraian di atas jelas terlihat bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara Banten dan Lampung. Pada masa perkembangan Islam, hubungan
Lampung – Banten berlangsung secara intensif. Banyak orang Lampung yang
belajar agama ke Banten, dan tidak sedikit pula ulama-ulama Banten yang
datang ke tanah Lampung untuk menyebarkan agama Islam. Banten, pada masa
lalu merupakan salah satu pusat syiar Islam yang terkemuka di
Nusantara.
Dalam
perniagaan lada, hubungan Lampung dan Banten terjalin lebih kuat.
Lampung sebagai penghasil lada yang utama, sedangkan Banten sebagai
pemasok lada ke pasaran dunia. Pada periode ini kental akan nuansa
politik. Lampung merupakan daerah yang berada dalam naungan Kesultanan
Banten. Cagar budaya Lawang Kuri merupakan salah satu
atribut yang diberikan oleh Sultan Banten kepada salah satu kepala adat
di Lampung, sebagai tanda pengakuan dan tunduk pada kekuasaan Kesultanan
Banten.
0 komentar:
Posting Komentar