Sebelum
kita memaparkan tentang Melayu Riau dan Melayu Tamiang Aceh, ada tiga
pengertian yang berkenaan dengan istilah Melayu supaya kita benar-benar
memiliki batasan yang jelas. Pertama, Melayu dalam pengertian “bangsa”,
ke-dua Melayu dalam pengertian “suku bangsa”, dan ke-tiga adalah Melayu
dalam pengertian “Suku”.
Lutfi
(1986) pernah menjabarkan bahwa Melayu pada pengertian ‘bangsa’ adalah
Melayu sebagai ras diantara berbagai ras yang terdapat di dunia.
Berkulit coklat. Pencampuran antara Mongol, Dravida, dan Aria. Melayu
dalam pengetian “Suku Bangsa” terjadi karena perkembangan sejarah dan
perubahan politik yang mengarah pada sebuah republik; Indonesia,
Malaysia, Brunei dll. Sementara pengertian Melayu sebagai “suku” adalah
bagian dari sub-sub sukubangsa Melayu itu sendiri. Seperti Melayu Riau
dan Melayu Tamian Aceh yang dibahas dalam tulisan ini.
Suku
bangsa Melayu, sepertihalnya suku bangsa lain, tentu memiliki daerah
yang dianggap sebagai pusat kebudayaan yang kemudian menjadi rujukan
dalam berbagai aspek kehidupan antar pendukungnya. Tumbuh dan
berkembanganya Kerajaan Melayu de berbagai daerah pada gilirannya
membuat daerah-daerah tersebut dianggap sebagai pusat kerajaan yang
sekaligus sebgaai pusat kebudayaan Melayu.
Ada
teori yang menyatakan bahwa semakin jauh dari pusat maka unsur-unsur
kebudayaan yang ditumbuhkembangkan tidak sama persis. Ada persamaan yang
hakiki, dalam hal ini “Islam”, namun dalah segi budaya akan ada
pembedanya. Dalam tulisan ini mencoba mengurai kesamaan dan perbedaan
antara Melayu Riau dengan Melayu Tamiang Aceh.
Suparlan
(1995) pernah mengatakan bahwa orang Melayu Riau sering mengindentikkan
dirinya mengacu pada kerajaan-kerajaan yang ada di daerahnya. Secara
sederhana pengetian ini akan menegaskan bahwa anggapan Melayu itu satu
dan sama dengan lainnya adalah tidak seluruhnya benar, karena terdapat
perbedaan geografis, yang akan menjadi pembeda kehidupan sosial, dan
ekonomi antara suku Melayu satu dengan yang lain.
Riau
adalah propinsi yang terbagi dalam dua kategori; Riau daratan dan Riau
kepulauan. Riau daratan berada dalam pulau Sumatra, sementara Riau
kepualauan adalah Propinsi Riau yang berada di kepulauan. Wilayah
Kepulauan di propinsi Riau terhitung luas sehingga munculah istilah
“bumi segantang lada” untuk menggambarkan Kep. Riau, sebelum pemekaran,
yang memiliki 1.062 pulau dengan luas 250.162 KM2, sebanyak
95,79% terdiri dari perairan. Sisanya berupa daratan berbukit dengan
pantai yang landai. Tanahnya terdiri dari batuan tersier. Maka sangat
tidak cocok untuk bercocok tanam. Namun sangat startegis sebagai jalur
perkonomian, kaya akan sumber daya alam dan perikanannya.
Dalam
sejarahnya, kep. Riau tidak hanya startegis dan kaya akan sumber daya
alam, melainkan pernah juga sebagai salah satu pusat kerajaan Melayu,
yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Peninggalannya masih bisa kita temui
di Penyengat dan Daik-Lingga. Maka takheran jika pemusatan Orang Melayu
di Indonesia akan mengarah pada Propinsi Riau, sedangkan di Asia
Tenggara berpusat di Semenanjung Malaka.
Orang
Melayu Asli Riau adalah perpaduan dari bangsa Bangsa sebelumnya yakni
Weddoide dan sebagian bangsa Proto Melayu yang tidak lari ke pedalaman.
Kemudian bercampur dengan bangsa Deutro Melayu yang datang dengan
peradaban yang lebih maju dan telah memiliki hubungan dengan dunia luar
pada sekitar tahun 300 SM.
Tumbuh
dan berkembangnya Orang Melayu tidak terlepas dari kesejarahannya,
Suparlan (1995), berdasarkan Suwardi MS, mengkronologiskan sejarah Riau
ke dalam 7 masa. Secara singkatnya dimulai dari masa pengaruh Kerajaan
Sriwijawa yang berlangsung sampai dengan akhir abad ke-13, dan diakhiri
pada masa Kerajaan Melayu Riau-Lingga yang pernah mengalami masa
kejayaan hinga menggantikan Johor. Dari sinilah pengaruh Melayu berpusat
dari Riau dan menyebar ke daerah-daerah lain dimulai hingga pada saat
kemudian Belanda datang ke Indonesia.
Dari
sanalah orang Melayu kemudian seringkali mengidentifikasi dirinya
sesuai dengan tempat administrasi mereka berada, seperti di Riau
terdapat Melayu-Siak, Melayu-Indragiri Hulu, Melayu-Daik, Melayu
Penyengat, Melayu-Kampar, dll. Begitu pun dengan Melayu Kep-Riau, adalah
orang melayu yang tinggal di kab. Kep. Riau. Lantas adakah hubungan
sejarah dan asal usulnya dengan Melayu Tamiang yang berada di Kab.
Tamiang, Aceh?
Menurut
catatan sejarah, suku Melayu Tamiang merupakan suku melayu pendatang di
Aceh. Sebelumnya, Aceh telah dihuni oleh imigran melayu yang lain yang
tinggal di daerah pesisir. Mereka adalah suku Gayo dan suku Mante di
Aceh Besar. Kedua suku ini enggan menerima pembaruan yang dibawa suku
Tamiang sehingga mereka lebih memilih bertempat tinggal di daerah
pedalaman. Adapun suku Tamiang pada mula kedatangan mereka ke Aceh
bermukim di Kuala Simpang, sebuah kota yang berbatasan dengan Selat
Malaka. suku melayu ini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, sehingga mereka
sangat identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia.
Seiring
dengan memudarnya kejayaan Sriwijaya pada abad ke-13, mereka
meninggalkan negeri asalnya dan berlayar ke Sumatera bagian barat sampai
akhirnya berlabuh dan bermukim di Kuala Simpang. Kendati sebagai
pendatang baru di Aceh, orang-orang Tamiang dapat berinteraksi dan
berbaur dengan etnik Aceh secara mudah dan cepat. Ini disebabkan oleh
kelembutan budi dan keramahan sikap mereka terhadap penduduk setempat.
Dari catatan di atas kemudian kita bisa memastikan pembeda yang mendasar antara Melayu Riau dengan Melayu Tamiang Aceh.
Suku
bangsa Melayu Riau, sepeninggalan kerajaan Sriwijaya mengalami enam
masa perkembangan. Pertama masa kemerdekaan kerajaan-kerajaan kecil
Melayu Riau seperti Bintan-Temasik di Kep. Riau, Malaka di semenanjung
Melayu, Kandis-kuantan, Gasib-Siak, kritang Indra giri, dll. Masa ke dua
adalah penguasaan kembali kerjaan-kerajaan kecil tersebut di bawah
pengaruh kerajaan Pagatuyung Minangkabau. Masa ke-tiga adalah fase
kepunahan kerajaan-kerajaan kecil Melayu seperti Kandis, Segati, Pekan
Tuan dan Gasib. Masa ke empat adalah fase munculnya kerajaan Melayu
kecil yang membesar seperti; Siak Sri Indrapura, Indragiri dan
Pelalawan. Dan yang terkhir adalah masa kejayaan Riau- Lingga. Dengan
perkembangan fase-fase tersebut pasti memliki dampak dan perubahannya
tersendiri.
Sementara
Suku Melayu Tamiang Aceh, mereka meninggalkan Semenanjung Malaka sejak
keruntuhan kerajaanSriwijaya dan membaur dengan kerajaan yang ada di
Aceh. Di sana pasti terjadi upaya peleburan diri dengan masyarakat
kerajaan Tamiang yang telah berada di tempat tersebut sebelum kedatangan
suku Melayu Tamiang.
Namun,
dari sekian pembeda mulai dari segi demografis dan kesejarahan,
Sub-suku Melayu memiliki kesamaan hakekat yakni dalam keyakinannya
terhadap Islam serta pola hidup mereka yang Maritim; mahir berdagang,
pelaut, berbahasa Melayu, dan ahli membuat kapal.
0 komentar:
Posting Komentar