Provinsi
Jambi memiliki Penduduk asli yang terdiri dari beberapa suku bangsa,
antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam
(Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan
penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di
sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Apabila
dipandang dari sudut pandang antropologi fisik,sebagian besar suku
bangsa di Sumatra, salah satunya Jambi yang utama adalah berasal dari
suku Deutro Melayu atau Melayu Muda pada sekitar tahun 300 SM, datang
dengan peradaban yang lebih maju dan telah memiliki hubungan dengan
dunia luar. Maka secara otomatis mendesak dua bangsa sebelumnya yakni
Weddoide dan sebagian bangsa Proto Melayu ke pedalaman.
Kelompok
melayu yang berada di daerah Jambi, lebih banyak bersentuhan dengan
kelompok Kubu, sehinga mempunyai model-model yang berbeda dengan
kelompok-kelompok melayu yang bersentuhan dengan kelompok Sakai di Riau
atau kelompok Minangkabau di Sumbar.
Di
Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri,
terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan
bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat. Ada juga yang
menyatakan bahwa mereka berasal dari daerah Batipuh khususnya Kubu
Kerambil (Sumatra Barat) yang mengungsi ke hutan pedalaman karena
menolak pengaruh budaya Islam demi memertahankan kepercayaan
animismenya.
Pernyataan
lain menyebutkan bahwa pada abad ke 11, di Jambi telah berdiri kerajaan
maritim yang bernama Sriwijaya, pengaruhnya telah menguasai sebagian
selat Malaka dan memiliki hubungan internasional. Namun pada tahun 1025,
kerajaan Chola dari India Selatan menyerang kemudian menaklukan
Sriwijaya dan menguasainya. Pada saat itu, sebagian penduduk Sriwijaya
yang tidak mau dikuasai orang asing, kemudian mereka berpindah ke hutan
dan seterusnya hidup di hutan.
Sedangkan
pendapat lain menyatakan bahwa perilaku Orang Rimba Kubu yang
terbelakang, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah
hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan
bergantung pada alam. Beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu,
dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Maka
kemudian terbentuk menjadi Orang Rimba.
Menurut
tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang
melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit
Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain
menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini
diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat
dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun”
atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka
ladang baru. Mereka tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon,
bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang
benal. Cara bertahan hidup mereka dengan berburu, makan buah-buahan di
hutan, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu.
Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Kehidupan mereka semakin tergerus seiring dengan hilangnya sumber daya
hutan yang berada di Jambi.
0 komentar:
Posting Komentar