Tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume
yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi. Jadi, lumense bisa
diartikan terbang tinggi. Kabupaten Bombana dihuni oleh suku Moronene.
Suku ini menempati hampir seluruh wilayah Sulawesi tenggara. Tari
lumense sendiri berasal dari kecamatan Kabaena. Suku Moronene merupakan
penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa
melayu tua yang dating dari hindia belakang pada zaman pra sejarah.
Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah
buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan
kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan
kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga
mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari
Lumense. Tari Lumense merupakan salah satu tradisi
masyarakat Kabupaten Bombana dalam menyambut tamu pada pesta-pesta
rakyat. Tarian ini dilakukan oleh kelompok perempuan yang berjumlah 12
orang, 6 orang berperan sebagai laki-laki dan 6 lainnya berperan sebagai
permepuan. Para penari menggunakan busana adat Kabaena. Untuk para
penari yang berperan sebagai perempuan memakai rok berwarna merah maron
dan atasan baju hitam. Baju ini disebut dengan taincombo dengan bagian
bawah baju mirip ikan duyung. Untuk penari yang berperan sebagai
laki-laki memakai taincombo yang dipadukan dengan selendang merah.
Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang
disandang di pinggang sebelah kiri.
Tarian ini diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat
kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, gerakan
yang ditampilkan merupakan gerakan yang dinamis yang disebut moomani
atau ibing. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus
melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai
pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini
adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil
saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil
mengimbangi kaki yang maju mundur. Tarian ini diiringi oleh musik yang
berasal dari alat music gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong
kecil (ndengu-ndengu). Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga
orang penabuh alat music tersebut sementara dalam memainkan tarian ini
dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung.
Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu
ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano
(penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual
ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana.
Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini
juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring
dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi
sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena
adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola
tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.
Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang
berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini
bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian
ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang
bencana bisa dicegah.Kekinian tari Lumense sudah tidak lagi menjadi
ritual pengusiran roh. Akan tetapi, tari Lumense masih dianggap memiliki
nilai spiritual. Masyarakat setempat menganggap tari lumense adalah
tari “ penyembuh”.
Curhat Pendek - Itu Susu?
-
Ketika kamu memiliki banyak pengalaman, melihat banyak hal yang terjadi di
dunia maka biasanya semakin sulit kamu untuk terkejut pada sesuatu yang
tida...
0 komentar:
Posting Komentar