Dalam
pembuatan perahu tradisional di Sulawesi Selatan, terdapat beberapa
upacara yang dilaksanakan untuk kelancaran serta keberhasilan proses
pembuatannya. Upacara pertama adalah upacara penebangan kayu setelah
dilakukan pencarian bahan. Kayu yang menjadi bahan utama antara lain
kayu jati, kayu besi, kayu bayan, dan kayu suryan. Upacara ini
dimaksudkan agar kekuatan-kekuatan supranatural di alam atau di pohon
tidak mengganggu pekerja dan diharapkan agar proses pengerjaannya
berjalan lancar serta berhasil.
Proses
pembuatan dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara Annattara. Upacara
tersebut dilakukan pada saat akan dilakukan pemotongan ujung lunas untuk
disambung dengan sambungan kayu lainnya. Dalam upacara annattara
biasanya dipergunakan sesaji dan sarana-sarana lainnya. Sesaji biasanya
terdiri dari pedupaan untuk membakar kemenyan, ayam, satu sisir pisang
panjang, dan kain putih.
Upacara Annatara dalam Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan
Pelaksanaan
upacara yang ketiga adalah upacara Appasiki. Upacara ini bertujuan
tolak bala, yakni untuk menolak bahaya yang mengancam. Sesaji dan sarana
upacaranya antara lain berupa kue-kue tradisional seperti jajanan pasar
di Jawa. Dalam upacara Appasiki dilakukan pembacaan doa-doa yang
dilaksanakan di atas perahu (Seperti pembacaan barasanji). Seorang guru
akan memimpin dengan membacakan mantera sebagai penolak bala.
Upacara
yang keempat disebut dengan upacara Ammasi yang dilakukan menjelang
proses pembuatan perahu selesai. Upacara ini dapat diidentikkan dengan
upacara pemotongan puser bayi. Upacara dilakukan dengan memberikan pusat
pada bagia pusat (kalebisaeng). Sesaji yang digunakan dalam upacara
Ammasi adalah pisang, kelapa, ayam, gula merah, dan lainnya. Adapun
upacara terakhir adalah upacara peluncuran yang dilakukan pada saat
peluncuran perahu pertama kali di laut. Sesaji yang digunakan antara
lain nasi, 1 butir telur, ijuk, aneka jajanan pasar, daun pandan, bunga
melati, dan lamingan.
Upacara-upacara
tersebut merupakan aktivitas yang tidak terlepas dari pola pikir
masyarakat yang sudah berkembang sejak masa prasejarah. Upacara-upacara
tersebut juga merupakan suatu usaha pendekatan diri kepada suatu
kekuatan yang menguasai alam raya. Dimana masa prasejarah upacara
ditujukan kepada berbagai sumber kekuatan diluar jangkauan pemikiran
manusia biasa yang dikenal dengan sebutan “supranatural”. Kekuatan
supranatural pada masa prasejarah terdiri dari arwah-arwah nenek moyang,
roh-roh binatang, binatang-binatang pelindung dan lainnya.
Pada
waktu upacara peluncuran pertama atau yang dikenal dengan upacara
Ruwes, pada tiang perahu biasanya diikatkan batang tebu hitam dan pohon
pisang yang sedang berbuah. Di dalam perahu yang akan diluncurkan diberi
sesaji berupa jajan pasar dan dihiasi dengan berbagai hiasan dari
kertas. Setelah kyai membacakan doa, peserta upacara dipersilahkan naik
ke atas perahu sesuai daya tampung perahunya. Kemudian perahu tersebut
dicoba untuk dilayarkan.
Adanya
pelaksanaan upacara perahu tampaknya disebabkan oleh kepercayaan bahwa
perjalanan yang melalui laut terasa lebih menakutkan, angker, dan
membahayakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa untuk
meluncurkan perahu harus diadakan upacara yang berintikan pada
keselamatan. Bentuk upacara tersebut merupakan suatu tanda terima kasih
kepada Tuhan atau Penguasa Laut.
0 komentar:
Posting Komentar