Sabtu, 13 Desember 2014

Upacara Pembuatan Perahu Tradisional di Sulawesi Selatan

Upacara Annatara_1377678191.jpg
Dalam pembuatan perahu tradisional di Sulawesi Selatan, terdapat beberapa upacara yang dilaksanakan untuk kelancaran serta keberhasilan proses pembuatannya. Upacara pertama adalah upacara penebangan kayu setelah dilakukan pencarian bahan. Kayu yang menjadi bahan utama antara lain kayu jati, kayu besi, kayu bayan, dan kayu suryan. Upacara ini dimaksudkan agar kekuatan-kekuatan supranatural di alam atau di pohon tidak mengganggu pekerja dan diharapkan agar proses pengerjaannya berjalan lancar serta berhasil.
Proses pembuatan dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara Annattara. Upacara tersebut dilakukan pada saat akan dilakukan pemotongan ujung lunas untuk disambung dengan sambungan kayu lainnya. Dalam upacara annattara biasanya dipergunakan sesaji dan sarana-sarana lainnya. Sesaji biasanya terdiri dari pedupaan untuk membakar kemenyan, ayam, satu sisir pisang panjang, dan kain putih.

 Upacara Annatara dalam Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan
Pelaksanaan upacara yang ketiga adalah upacara Appasiki. Upacara ini bertujuan tolak bala, yakni untuk menolak bahaya yang mengancam. Sesaji dan sarana upacaranya antara lain berupa kue-kue tradisional seperti jajanan pasar di Jawa. Dalam upacara Appasiki dilakukan pembacaan doa-doa yang dilaksanakan di atas perahu (Seperti pembacaan barasanji). Seorang guru akan memimpin dengan membacakan mantera sebagai penolak bala.
Upacara yang keempat disebut dengan upacara Ammasi yang dilakukan menjelang proses pembuatan perahu selesai. Upacara ini dapat diidentikkan dengan upacara pemotongan puser bayi. Upacara dilakukan dengan memberikan pusat pada bagia pusat (kalebisaeng). Sesaji yang digunakan dalam upacara Ammasi adalah pisang, kelapa, ayam, gula merah, dan lainnya. Adapun upacara terakhir adalah upacara peluncuran yang dilakukan pada saat peluncuran perahu pertama kali di laut. Sesaji yang digunakan antara lain nasi, 1 butir telur, ijuk, aneka jajanan pasar, daun pandan, bunga melati, dan lamingan.
Upacara-upacara tersebut merupakan aktivitas yang tidak terlepas dari pola pikir masyarakat yang sudah berkembang sejak masa prasejarah. Upacara-upacara tersebut juga merupakan suatu usaha pendekatan diri kepada suatu kekuatan yang menguasai alam raya. Dimana masa prasejarah upacara ditujukan kepada berbagai sumber kekuatan diluar jangkauan pemikiran manusia biasa yang  dikenal dengan sebutan “supranatural”. Kekuatan supranatural pada masa prasejarah terdiri dari arwah-arwah nenek moyang, roh-roh binatang, binatang-binatang pelindung dan lainnya.
Pada waktu upacara peluncuran pertama atau yang dikenal dengan upacara Ruwes, pada tiang perahu biasanya diikatkan batang tebu hitam dan pohon pisang yang sedang berbuah. Di dalam perahu yang akan diluncurkan diberi sesaji berupa jajan pasar dan dihiasi dengan berbagai hiasan dari kertas. Setelah kyai membacakan doa, peserta upacara dipersilahkan naik ke atas perahu sesuai daya tampung perahunya. Kemudian perahu tersebut dicoba untuk dilayarkan.
Adanya pelaksanaan upacara perahu tampaknya disebabkan oleh kepercayaan bahwa perjalanan yang melalui laut terasa lebih menakutkan, angker, dan membahayakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa untuk meluncurkan perahu harus diadakan upacara yang berintikan pada keselamatan. Bentuk upacara tersebut merupakan suatu tanda terima kasih kepada Tuhan atau Penguasa Laut.

0 komentar:

Posting Komentar